Archive for September 2015
Mengirim al-Fatihah untuk Mayit Menurut 4 Madzhab
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebelumnya kita perlu memahami bahwa ditinjau dari bentuk pengorbanan hamba, ibadah dibagi menjadi 3,
Pertama, ibadah murni badaniyah, itulah semua ibadah yang modal utamanya gerakan fisik.
Seperti shalat, puasa, dzikir, adzan, membaca al-Quran, dst.
Kedua, ibadah murni maliyah. Semua ibadah yang pengorbanan utamanya harta.
Seperti zakat, infaq, sedekah, dst.
Ketiga, ibadah badaniyah maliyah. Gabungan antara ibadah fisik dan harta sebagai pendukung utamanya. Seperti jihad, haji atau umrah.
Ulama sepakat bahwa semua ibadah yang bisa diwakilkan, seperti ibadah maliyah atau yang dominan maliyah, seperti sedekah, atau haji, atau ibadah yang ditegaskan bisa diwakilkan, seperti puasa, maka semua bisa dihadiahkan kepada mayit.
Imam Zakariya al-Anshari mengatakan,
وينفعه أي الميت من وارث وغيره صدقة ودعاء، بالإجماع وغيره
Sedekah atau doa baik dari ahli waris maupun yang lainnya, bisa bermanfaat bagi mayit dengan sepakat ulama. (Fathul Wahhab, 2/31).
Keterangan lain disampaikan Ibnu Qudamah,
أما الدعاء والاستغفار والصدقة وقضاء الدين وأداء الواجبات فلا نعلم فيه خلافاً إذا كانت الواجبات مما يدخله النيابة
Doa, istighfar, sedekah, melunasi utang, menunaikan kewajiban (yang belum terlaksana), bisa sampai kepada mayit. Kami tidak tahu adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, apabila kewajiban itu bisa diwakilkan. (as-Syarhul Kabir, 2/425).
Sementara itu, ulama berbeda pendapat untuk hukum mengirim pahala ibadah yang tidak bisa diwakilkan kepada mayit, seperti bacaan al-Quran. Kita akan sebutkan secara ringkas,
Pertama, madzhab hanafi
Ulama hanafiyah menegaskan bahwa mengirim pahala bacaan al-Quran kepada mayit hukum dibolehkan. Pahalanya sampai kepada mayit, dan bisa bermanfaat bagi mayit. Dalam
Imam Ibnu Abil Izz – ulama Hanafiyah – menuliskan,
إن الثواب حق العامل، فإذا وهبه لأخيه المسلم لم يمنع من ذلك، كما لم يمنع من هبة ماله له في حياته، وإبرائه له منه بعد وفاته. وقد نبه الشارع بوصول ثواب الصوم على وصول ثواب القراءة ونحوها من العبادات البدنية
Sesungguhnya pahala adalah hak orang yang beramal. Ketika dia hibahkan pahala itu kepada saudaranya sesama muslim, tidak jadi masalah. Sebagaimana dia boleh menghibahkan hartanya kepada orang lain ketika masih hidup. Atau membebaskan tanggungan temannya muslim, yang telah meninggal.
Syariat telah menjelaskan pahala puasa bisa sampai kepada mayit, yang itu mengisyaratkan sampainya pahala bacaan al-Quran, atau ibadah badaniyah lainnya. (Syarh Aqidah Thahawiyah, 1/300).
Kedua, madzhab Malikiyah
Imam Malik menegaskan, bahwa menghadiahkan pahala amal kepada mayit hukumnya dilarang dan pahalanya tidak sampai, dan tidak bermanfaat bagi mayit. Sementara sebagian ulama malikiyah membolehkan dan pahalanya bisa bermanfaat bagi mayit.
Dalam Minah al-Jalil, al-Qarrafi membagi ibadah menjadi tiga,
- Ibadah yang pahala dan manfaatnya dibatasi oleh Allah, hanya berlaku untuk pemiliknya. Dan Allah tidak menjadikannya bisa dipindahkan atau dihadiahkan kepada orang lain. Seperti iman, atau tauhid.
- Ibadah yang disepakati ulama, pahalanya bisa dipindahkan dan dihadiahkan kepada orang lain, seperti ibadah maliyah.
- Ibadah yang diperselisihkan ulama, apakah pahalanya bisa dihadiahkan kepada mayit ataukan tidak? Seperti bacaa al-Quran. Imam Malik dan Imam Syafii melarangnya. (Minan al-Jalil, 1/509).
Selanjutnya al-Qarrafi menyebutkan dirinya lebih menguatkan pendapat yang membolehkan. Beliau menyatakan,
فينبغي للإنسان أن لا يتركه، فلعل الحق هو الوصول، فإنه مغيب
Selayaknya orang tidak meninggalkannya. Bisa jadi yang benar, pahala itu sampai. Karena ini masalah ghaib. (Minan al-Jalil, 7/499).
Ada juga ulama malikiyah yang berpendapat bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran tidak sampai kepada mayit. Hanya saja, ketika yang hidup membaca al-Quran di dekat mayit atau di kuburan, maka mayit mendapatkan pahala mendengarkan bacaan al-Quran. Namun pendapat ini ditolak al-Qarrafi karena mayit tidak bisa lagi beramal. Karena kesempatan beramal telah putus (Inqitha’ at-Taklif). (Minan al-Jalil, 1/510).
Ketiga, Pendapat Syafiiyah
Pendapat yang masyhur dari Imam as-Syafii bahwa beliau melarang menghadiahkan bacaan al-Quran kepada mayit dan itu tidak sampai.
An-Nawawi mengatakan,
وأما قراءة القرآن، فالمشهور من مذهب الشافعي، أنه لا يصل ثوابها إلى الميت، وقال بعض أصحابه: يصل ثوابها إلى الميت
Untuk bacaan al-Quran, pendapat yang masyhur dalam madzhab as-Syafii, bahw aitu tidak sampai pahalanya kepada mayit. Sementara sebagian ulama syafiiyah mengatakan, pahalanya sampai kepada mayit. (Syarh Shahih Muslim, 1/90).
Salah satu ulama syafiiyah yang sangat tegas menyatakan bahwa itu tidak sampai adalah al-Hafidz Ibnu Katsir, penulis kitab tafsir.
Ketika menafsirkan firman Allah di surat an-Najm,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Bahwa manusia tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari apa yang telah dia amalkan.” (an-Najm: 39).
Kata Ibnu Katsir,
ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم
“Dari ayat ini, Imam as-Syafii – rahimahullah – dan ulama yang mengikuti beliau menyimpulkan, bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran tidak sampai kepada mayit. Karena itu bukan bagian dari amal mayit maupun hasil kerja mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/465).
Selanjutnya, Ibnu Katsir menyebutkan beberapa dalil dan alasan yang mendukung pendapatnya.
Keempat, Pendapat Hambali
Dalam madzhab hambali, ada dua pendapat. Sebagian ulama hambali membolehkan dan sebagian melarang, sebagaimana yanng terjadi pada madzhan Malikiyah. Ada 3 pendapat ulama madzhab hambali dalam hal ini,
- Boleh menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayit dan itu bisa bermanfaat bagi mayit. Ini pendapat yang mayhur dari Imam Ahmad.
- Tidak boleh menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayit, meskipun jika ada orang yang mengirim pahala, itu bisa sampai dan bermanfaat bagi mayit. Al-Buhuti menyebut, ini pendapat mayoritas hambali.
- Pahala tetap menjadi milik pembaca (yang hidup), hanya saja, rahmat bisa sampai ke mayit.
Al-Buhuti mengatakan,
وقال الأكثر لا يصل إلى الميت ثواب القراءة وإن ذلك لفاعله
Mayoritas hambali mengatakan, pahala bacaan al-Quran tidak sampai kepada mayit, dan itu milik orang yang beramal. (Kasyaf al-Qana’, 2/147).
Sementara Ibnu Qudamah mengatakan,
وأي قربة فعلها وجعل ثوابها للميت المسلم نفعه ذلك
Ibadah apapun yang dikerjakan dan pahalanya dihadiahkan untuk mayit yang muslim, maka dia bisa mendapatkan manfaatnya. (as-Syarhul Kabir, 2/425).
Ibnu Qudamah juga menyebutkan pendapat ketiga dalam madzhab hambali,
وقال بعضهم إذا قرئ القرآن عند الميت أو اهدي إليه ثوابه كان الثواب لقارئه ويكون الميت كأنه حاضرها فترجى له الرحمة
Ada sebagian ulama hambali mengatakan, jika seseorang membaca al-Quran di dekat mayit, atau menghadiahkan pahala untuknya, maka pahala tetap menjadi milik yang membaca, sementara posisi mayit seperti orang yang hadir di tempat bacaan al-Quran. Sehingga diharapkan dia mendapat rahmat. (as-Syarhul Kabir, 2/426).
Menimbang Pendapat
Seperti yang disampaikan al-Qarrafi, bahwa kajian masalah ini termasuk pembahasan masalah ghaib. Tidak ada yang tahu sampainya pahala itu kepada mayit, selain Allah. Kecuali untuk amal yang ditegaskan dalam dalil, bahwa itu bisa sampai kepada mayit, seperti doa, permohonan ampunan, sedekah, bayar utang zakat, atau utang sesama mannusia, haji, dan puasa.
Sementara bacaan al-Quran, tidak ada dalil tegas tentang itu. Ulama yang membolehkan mengirimkan pahala bacaan al-Quran kepada mayit mengqiyaskan (analogi) bacaan al-Quran dengan puasa dan haji. Sehingga kita berharap pahala itu sampai, sebagaimana pahala puasa bisa sampai.
Sementara ulama yang melarang beralasan, itu ghaib dan tidak ada dalil. Jika itu bisa sampai, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat akan sibuk mengirim pahala bacaan al-Quran untuk keluaganya yang telah meninggal dunia.
Beberapa keluarga tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Khadijah, Hamzah, Zainab bintu Khuzaimah (istri beliau), semua putra beliau, Qosim, Ibrahim, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Zainab, mereka meninggal sebelum wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tidak dijumpai riwayat, beliau menghadiahkan pahala bacaan al-Quran untuk mereka.
Saran
Melihat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masalah menghadiahkan pahala amal badaniyah kepada mayit, kita bisa menegaskan bahwa masalah ini termasuk masalah ikhtilaf ijtihadiyah fiqhiyah, dan bukan masalah aqidah manhajiyah (prinsip beragama). Sehingga berlaku kaidah, siapa yang ijtihadnya benar maka dia mendapatkan dua pahala dan siapa yang ijtihadnya salah, mendapat satu pahala.
Dari ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ.
“Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala”. (HR. Bukhari 7352 & Muslim 4584)
Kaitannya dengan ini, ada satu sikap yang perlu kita bangun, ketika kita bersinggungan dengan masalah yang termasuk dalam ranah ijtihadiyah fiqhiyah, yaitu mengedepankan sikap dewasa, toleransi dan tidak menjatuhkan vonis kesesatan. Baik yang berpendapat boleh maupun yang berpendapat melarang.
Masing-masing boleh menyampaikan pendapatnya berdasarkan alasan dan dalil yang mendukungnya. Sekaligus mengkritik pendapat yang tidak sesuai dengannya. Sampai batas ini dibolehkan.
Dan perlu dibedakan antara mengkritik dengan menilai sesat orang yang lain pendapat. Dalam masalah ijtihadiyah, mengkritik atau mengkritisi pendapat orang lain yang beda, selama dalam koridor ilmiyah, diperbolehkan. Kita bisa lihat bagaiamana ulama yang menyampaikan pendapatnya, beliau sekaligus mengkritik pendapat lain. Namun tidak sampai menyesatkan tokoh yang pendapatnya berbeda dengannya.
Terkadang, orang yang kurang dewasa, tidak siap dikritik, menganggap bahwa kritik pendapatnya sama dengan menilai sesat dirinya. Dan ini tidak benar.
Allahu a’lam.
Artikel dikutip dari Konsultasi Syariah : http://www.konsultasisyariah.com/menghadiahkan-al-fatihah-menurut-4-madzhab/
Untaian Nasehat untuk Para Pemuda
Bismillah, telah
menjadi sunnatullah datang generasi baru yang meneruskan perjuangan generasi
terdahulu. Para pemuda, sejak dulu selalu memendam asa dan cita-cita untuk
memperbaiki kondisi bangsa. Di dalam Al-Qur’an misalnya, kita mengenal para
pemuda bertauhid yang disebut Ashabul Kahfi.
Di dalam sejarah Islam pun kita
mengenal pemuda-pemuda pembela agama dari kalangan para sahabat yang mulia
seperti Ali bin Abi Thalib, Usamah bin Zaid, dan Ibnu Abbas yang tersohor
keahliannya dalam hal tafsir Al-Qur’an.
Di dalam hadits pun kita membaca
salah satu golongan yang diberi naungan oleh Allah pada hari kiamat; seorang
pemuda yang tumbuh dalam ketaatan beribadah kepada Rabbnya. Pemuda yang tidak
silau oleh gemerlapnya dunia. Pemuda yang memancangkan cita-cita setinggi
bintang di langit dan berjuang keras menggapai surga.
Namun, realita tidak seindah yang
dikira. Banyak pemuda yang justru hanyut dalam arus kerusakan dan penyimpangan.
Bukan hanya masalah narkotika, tawuran, atau pergaulan bebas. Lebih daripada
itu, kerusakan yang menimpa para pemuda juga telah menyerang aspek-aspek
fundamental dalam agama. Munculnya para pengusung pemikiran liberal, merebaknya
gerakan-gerakan yang mencuci otak anak muda dengan limbah kesesatan.
Oleh sebab itulah, perlu kesadaran
dari semua pihak untuk ikut menjaga tunas-tunas bangsa ini agar tumbuh di atas
jalan yang lurus, jalan yang diridhai Allah Ta’ala.
Setiap orang tua yang
melepas keberangkatan buah hatinya untuk menimba ilmu di perguruan tinggi
sering memesankan kepada anaknya, “Jaga diri baik-baik ya nak … Jangan lupa
belajar yang baik, manfaatkan waktumu dengan baik.” Kiranya ini adalah nasihat
yang sangat berharga untuk kita.
Bagaimana menjaga diri kita dari
hal-hal yang negatif. Tentu, itu bukan perkara sepele dan remeh. Bahkan inilah
yang diperintahkan Allah kepada kita untuk menjaga diri dan keluarga kita dari
api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah berpesan kepada kita untuk
menjaga aturan-aturan Allah supaya Allah tetap menjaga dan melindungi kita.
Banyak sekali godaan dan rintangan
yang harus kita hadapi di tengah dunia mahasiswa dan anak muda pada umumnya.
Sebagian anak muda bahkan punya semboyan ‘mumpung masih muda’ dengan maksud
untuk memuaskan segala keinginan hawa nafsunya sampai-sampai ada ungkapan,
‘muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga’.
Sungguh sebuah semboyan yang sarat
dengan tanda tanya. Dari pintu surga manakah kiranya masuk orang yang mudanya
selalu berfoya-foya dan melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya ?
Anda kuliah dengan amanah dari
orangtua dan juga kesadaran diri anda sendiri. Oleh sebab itu sudah saatnya
anda meluruskan niat anda dalam mencari ilmu, yaitu untuk memberi manfaat bagi
kaum muslimin dan juga dalam rangka membela agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dinilai dengan niatnya dan
setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ilmu Agama
Perisai Jiwa
Mahasiswa yang baik bukan hanya yang peduli dengan indeks
prestasi dan nilai kuliahnya. Lebih daripada itu, mahasiswa yang baik adalah
yang senantiasa menimba ilmu agama. Ilmu Al-Qur’an dan As Sunnah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Allah akan pahamkan dia dalam hal
agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu
(agama) maka Allah akan memudahkan untuknya jalan menuju surga.” (HR.
Muslim)
Bagi anda yang dulu di SMA sekolah di pesantren atau madrasah
jangan terburu-buru merasa hebat. Betapa sering kita temukan, orang-orang yang
dulunya mengenyam pendidikan di pesantren atau madrasah namun ketika kuliah
menjadi berubah.
Tadinya rajin mengaji kemudian berubah rajin menyanyi. Tadinya
rajin membaca Qur’an kemudian berubah rajin fesbukan. Tadinya rajin membeli
buku agama kemudian berubah rajin membeli novel pujangga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah
melakukan amal-amal sebelum datangnya fitnah-fitnah seperti potongan-potongan
malam yang gelap gulita, di pagi hari seorang masih beriman tetapi tiba-tiba
sore hari menjadi kafir dan di sore hari beriman lalu pagi harinya menjadi
kafir. Dia rela menjual agamanya demi mengais kesenangan dunia.”(HR.
Muslim)
Oleh sebab itu besar sekali kebutuhan kita terhadap ilmu. Karena
ilmu akan menyirami hati kita, meneranginya dengan kebenaran dan memuliakannya
dengan keimanan. Imam Ahmad berkata, “Manusia jauh lebih membutuhkan
ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makan dan minum. Karena makanan dan
minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau 2 kali. Adapun ilmu dibutuhkan
sebanyak hembusan nafas. ”
Tujuan Hidup Kita
Mahasiswa adalah manusia. Dan
sebagaimana manusia yang lain ia harus tunduk beribadah kepada Allah. Inilah
tujuan keberadaan kita di alam dunia ini. Bukan semata-mata untuk memenuhi
nafsu dan mengumbar keinginan.
Allah berfirman (yang artinya), ”Tidaklah Aku ciptakan jindan manusia melainkan supaya
beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat:
56)
Jangan mengira bahwa ibadah
terbatas pada sholat dan puasa, atau berzakat dan naik haji. Ibadah itu luas,
mencakup segala ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Segala ucapan dan
perbuatan serta keyakinan yang dicintai dan diridhai Allah, maka itu adalah
ibadah. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Dan yang paling rendah -dari cabang iman- itu adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hal ini menunjukkan kepada kita,
bahwa ibadah kepada Allah bisa kita lakukan dimanapun dan kapanpun. Bukan hanya
di masjid, di pesantren, di bulan Ramadhan, atau di tanah suci. Bahkan, ibadah
bisa dilakukan di rumah dengan mengerjakan shalat sunnah, dengan berbakti
kepada orang tua, dengan mendengarkan lantunan murottal Al-Qur’an, berdzikir
pagi dan petang, dan lain sebagainya. Ibadah juga bisa kita lakukan ketika
berada di kampus, dengan menghormati orang-orang yang lebih tua, menyayangi
yang lebih muda, menebarkan salam, menundukkan pandangan dari lawan jenis,
tidak berdua-duaan dengan wanita bukan mahram, dsb.
Dengan demikian, seorang mahasiswa
muslim akan mengarungi lautan ibadah dalam hidupnya, dari satu ketaatan menuju
ketaatan yang lain, dari satu amalan menuju amalan yang lain. Sepanjang hayat
dikandung badan maka selama itu pula ia tunduk kepada Ar-Rahman.
Siapakah Kita Dibanding Mereka?
Para pendahulu kita yang salih
-sahabat-sahabat Nabi- adalah orang-orang yang tidak diragukan keimanannya.
Sampai-sampai orang sekelas Abu Bakar dikatakan bahwa imannya lebih berat
daripada iman seluruh penduduk bumi selain para Nabi. Orang-orang yang telah
mendapatkan janji surga. Meskipun demikian, mereka bukan orang yang sombong dan
angkuh dengan prestasinya.
Justru mereka khawatir akan diri
dan amal-amalnya. Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aku berjumpa dengan tiga puluh
orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sementara mereka semua takut dirinya tertimpa kemunafikan.”
Ya, siapakah kita jika dibandingkan
dengan mereka ? Sebagian pemuda atau mahasiswa begitu bangga dan pede dengan
kecerdasan dan prestasinya, seolah-olah kesuksesan adalah buah ciptaannya.
Dialah yang menjadi penentu atas segalanya. Dia lupa bahwa kepandaian,
kecerdasan, dan pemahaman adalah karunia dari Allah Ta’ala.
Betapa seringnya kita lalai dari
bersyukur kepada Allah. Meskipun demikian, kita sering merasa bahwa diri
kitalah yang berjasa, diri kitalah yang menjadi kunci kebaikan, padahal di
tangan Allah semata segala kebaikan. Oleh sebab itu kita harus merasa khawatir
akan nasib amal-amal kita. Di samping kita terus berharap dan berusaha
menggapai ridha-Nya.
Jalan Kebahagiaan
Ketahuilah, wahai saudaraku -semoga
Allah merahmatimu- sesungguhnya kebahagiaan yang kita idam-idamkan adalah
sebuah kenikmatan abadi di akhirat nanti.
Dalam sebuah hadits Qudsi Allah
berfirman, “Aku telah menyiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang salih,
kesenangan yang belum dilihat oleh mata, belum didengar oleh telinga, dan belum
terbersit dalam hati manusia.” (HR.
Bukhari)
Iman dan takwa adalah bekal kita
untuk meraih kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang akan dirasakan oleh orang-orang
yang beriman di dunia dan di akhirat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan lezatnya iman, orang yang ridha Allah
sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim).
Kebahagiaan di dalam hati
orang-orang yang beriman adalah kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan dengan
untaian pantun dan sajak pujangga. Kebahagiaan yang membuat seorang budak hitam
yang bernama Bilal bin Rabah lebih memilih disiksa daripada kembali kepada
kekafiran. Kebahagiaan yang membuat seorang Salman Al Farisi berpetualang
mencari kebenaran Islam tanpa kenal lelah. Kebahagiaan yang membuat seorang Abu
Bakar Ash-Shiddiq rela mencurahkan semua hartanya untuk sedekah di jalan Allah.
Kebahagiaan yang tidak lekang oleh
masa, tidak hancur oleh umur dan tidak surut karena ocehan dan cercaan manusia.
Sebab kebahagiaan itu telah bersemayam di dalam lubuk hatinya. Kemanapun dia
pergi maka kebahagiaan selalu menyertainya.