Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

Tafakkur Atas Keagungan Makhluk-makhluk Allah Ta'ala

Allah Ta'ala berfirman: "Katakanlah: Hanya sanya aku hendak menasihati kepadamu sekalian perkara satu saja, yaitu supaya engkau sekalian berdiri di hadapan Allah berdua-duaan atau sendiri-sendiri, kemudian engkau sekalian memikirkan bahwa bukanlah kawanmu itu terkena penyak'it gila. Tidaklah kawanmu itu melainkan seorang yang memberikan peringatan kepadamu sekalian sebetum datangnya siksa yang amat sangat." (Saba': 46)
Allah Ta'ala berfirman pula:
"Sesungguhnya dalam kejadian langit dan bumi serta bersilih, gantinya malam dengan siang itu adalah tanda-tanda - kekuasaan Allah - bagi orang-orang yang suka berfikir.
"Mereka itu ialah orang-orang yang selalu berzikir kepada Allah ketika berdiri, duduk ataupun berbaring sambil memikirkan kejadian langit dan bumi. Mereka berkata: "Wahai Tuhan kami, sesungguhnya tidaklah Engkau menjadikan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka lindungilah kami dari siksa api neraka." Sampai ayat-ayat seterusnya. (ali-lmran: 190-191)
Allah Ta'ala berfirman lagi:
"Apakah mereka tidak melihat - memperhatikan - pada unta, bagaimana ia diciptakan?
"Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
"Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan?
"Dan juga bumi, bagaimana ia dikembangkan?
"Maka dari itu berikanlah peringatan, karena engkau itu hanyalah seorang yang bertugas memberi peringatan." (al-Ghasyiyah: 17-21)

Allah Ta'ala juga berfirman:
"Apakah mereka tidak hendak berjalan di muka bumi, lalu melihat - memperhatikan - bagaimana akibat orang-orang yang belum mereka? Allah telah membinasakan mereka itu dan keadaan yang seperti itu pula untuk orang-orang kafir?" (Muhammad: 10)
Ayat-ayat mengenai bab ini amat banyak sekali. Setengah dari Hadis-hadis yang berhubungan dengan bab ini ialah Hadis di muka, yaitu:
"Orang yang cerdik - berakal - ialah orang yang memperhitungkan keadaan dirinya." Dan seterusnya. Adapun lengkapnya Hadis di atas ialah:
Dari Abu Ya'la yaitu Syaddad bin Aus r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya:  "Orang yang cerdik - berakal - ialah orang yang memperhitungkan keadaan dirinya dan suka beramal untuk mencari bekal sesudah matinya, sedangkan orang yang lemah ialah orang yang dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya dan mengharap-harapkan kemurahan atas Allah - yakni mengharap-harapkan kebahagiaan dan pengampunan di akhirat, tanpa beramal shalih."

Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.
Senin, 21 Maret 2016
Posted by Arriqo Arfaq

Mengirim al-Fatihah untuk Mayit Menurut 4 Madzhab


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebelumnya kita perlu memahami bahwa ditinjau dari bentuk pengorbanan hamba, ibadah dibagi menjadi 3,
Pertama, ibadah murni badaniyah, itulah semua ibadah yang modal utamanya gerakan fisik.
Seperti shalat, puasa, dzikir, adzan, membaca al-Quran, dst.
Kedua, ibadah murni maliyah. Semua ibadah yang pengorbanan utamanya harta.
Seperti zakat, infaq, sedekah, dst.
Ketiga, ibadah badaniyah maliyah. Gabungan antara ibadah fisik dan harta sebagai pendukung utamanya. Seperti jihad, haji atau umrah.
Ulama sepakat bahwa semua ibadah yang bisa diwakilkan, seperti ibadah maliyah atau yang dominan maliyah, seperti sedekah, atau haji, atau ibadah yang ditegaskan bisa diwakilkan, seperti puasa, maka semua bisa dihadiahkan kepada mayit.
Imam Zakariya al-Anshari mengatakan,
وينفعه أي الميت من وارث وغيره صدقة ودعاء، بالإجماع وغيره
Sedekah atau doa baik dari ahli waris maupun yang lainnya, bisa bermanfaat bagi mayit dengan sepakat ulama. (Fathul Wahhab, 2/31).
Keterangan lain disampaikan Ibnu Qudamah,
أما الدعاء والاستغفار والصدقة وقضاء الدين وأداء الواجبات فلا نعلم فيه خلافاً إذا كانت الواجبات مما يدخله النيابة
Doa, istighfar, sedekah, melunasi utang, menunaikan kewajiban (yang belum terlaksana), bisa sampai kepada mayit. Kami tidak tahu adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, apabila kewajiban itu bisa diwakilkan. (as-Syarhul Kabir, 2/425).
Sementara itu, ulama berbeda pendapat untuk hukum mengirim pahala ibadah yang tidak bisa diwakilkan kepada mayit, seperti bacaan al-Quran. Kita akan sebutkan secara ringkas,
Pertama, madzhab hanafi
Ulama hanafiyah menegaskan bahwa mengirim pahala bacaan al-Quran kepada mayit hukum dibolehkan. Pahalanya sampai kepada mayit, dan bisa bermanfaat bagi mayit. Dalam
Imam Ibnu Abil Izz – ulama Hanafiyah – menuliskan,
إن الثواب حق العامل، فإذا وهبه لأخيه المسلم لم يمنع من ذلك، كما لم يمنع من هبة ماله له في حياته، وإبرائه له منه بعد وفاته. وقد نبه الشارع بوصول ثواب الصوم على وصول ثواب القراءة ونحوها من العبادات البدنية
Sesungguhnya pahala adalah hak orang yang beramal. Ketika dia hibahkan pahala itu kepada saudaranya sesama muslim, tidak jadi masalah. Sebagaimana dia boleh menghibahkan hartanya kepada orang lain ketika masih hidup. Atau membebaskan tanggungan temannya muslim, yang telah meninggal.
Syariat telah menjelaskan pahala puasa bisa sampai kepada mayit, yang itu mengisyaratkan sampainya pahala bacaan al-Quran, atau ibadah badaniyah lainnya. (Syarh Aqidah Thahawiyah, 1/300).
Kedua, madzhab Malikiyah
Imam Malik menegaskan, bahwa menghadiahkan pahala amal kepada mayit hukumnya dilarang dan pahalanya tidak sampai, dan tidak bermanfaat bagi mayit. Sementara sebagian ulama malikiyah membolehkan dan pahalanya bisa bermanfaat bagi mayit.
Dalam Minah al-Jalil, al-Qarrafi membagi ibadah menjadi tiga,
  1. Ibadah yang pahala dan manfaatnya dibatasi oleh Allah, hanya berlaku untuk pemiliknya. Dan Allah tidak menjadikannya bisa dipindahkan atau dihadiahkan kepada orang lain. Seperti iman, atau tauhid.
  2. Ibadah yang disepakati ulama, pahalanya bisa dipindahkan dan dihadiahkan kepada orang lain, seperti ibadah maliyah.
  3. Ibadah yang diperselisihkan ulama, apakah pahalanya bisa dihadiahkan kepada mayit ataukan tidak? Seperti bacaa al-Quran. Imam Malik dan Imam Syafii melarangnya. (Minan al-Jalil, 1/509).
Selanjutnya al-Qarrafi menyebutkan dirinya lebih menguatkan pendapat yang membolehkan. Beliau menyatakan,
فينبغي للإنسان أن لا يتركه، فلعل الحق هو الوصول، فإنه مغيب
Selayaknya orang tidak meninggalkannya. Bisa jadi yang benar, pahala itu sampai. Karena ini masalah ghaib. (Minan al-Jalil, 7/499).
Ada juga ulama malikiyah yang berpendapat bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran  tidak sampai kepada mayit. Hanya saja, ketika yang hidup membaca al-Quran di dekat mayit atau di kuburan, maka mayit  mendapatkan pahala mendengarkan bacaan al-Quran. Namun pendapat ini ditolak al-Qarrafi karena mayit tidak bisa lagi beramal. Karena kesempatan beramal telah putus (Inqitha’ at-Taklif).  (Minan al-Jalil, 1/510).
Ketiga, Pendapat Syafiiyah
Pendapat yang masyhur dari Imam as-Syafii bahwa beliau melarang menghadiahkan bacaan al-Quran kepada mayit dan itu tidak sampai.
An-Nawawi mengatakan,
وأما قراءة القرآن، فالمشهور من مذهب الشافعي، أنه لا يصل ثوابها إلى الميت، وقال بعض أصحابه: يصل ثوابها إلى الميت
Untuk bacaan al-Quran, pendapat yang masyhur dalam madzhab as-Syafii, bahw aitu tidak sampai pahalanya kepada mayit. Sementara sebagian ulama syafiiyah mengatakan, pahalanya sampai kepada mayit. (Syarh Shahih Muslim, 1/90).
Salah satu ulama syafiiyah yang sangat tegas menyatakan bahwa itu tidak sampai adalah al-Hafidz Ibnu Katsir, penulis kitab tafsir.
Ketika menafsirkan firman Allah di surat an-Najm,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Bahwa manusia tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari apa yang telah dia amalkan.” (an-Najm: 39).
Kata Ibnu Katsir,
ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم
“Dari ayat ini, Imam as-Syafii – rahimahullah – dan ulama yang mengikuti beliau menyimpulkan, bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran tidak sampai kepada mayit. Karena itu bukan bagian dari amal mayit maupun hasil kerja mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/465).
Selanjutnya, Ibnu Katsir menyebutkan beberapa dalil dan alasan yang mendukung pendapatnya.
Keempat, Pendapat Hambali
Dalam madzhab hambali, ada dua pendapat. Sebagian ulama hambali membolehkan dan sebagian melarang, sebagaimana yanng terjadi pada madzhan Malikiyah. Ada 3 pendapat ulama madzhab hambali dalam hal ini,
  1. Boleh menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayit dan itu bisa bermanfaat bagi mayit. Ini pendapat yang mayhur dari Imam Ahmad.
  2. Tidak boleh menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayit, meskipun jika ada orang yang mengirim pahala, itu bisa sampai dan bermanfaat bagi mayit. Al-Buhuti menyebut, ini pendapat mayoritas hambali.
  3. Pahala tetap menjadi milik pembaca (yang hidup), hanya saja, rahmat bisa sampai ke mayit.
Al-Buhuti mengatakan,
وقال الأكثر لا يصل إلى الميت ثواب القراءة وإن ذلك لفاعله
Mayoritas hambali mengatakan, pahala bacaan al-Quran tidak sampai kepada mayit, dan itu milik orang yang beramal. (Kasyaf al-Qana’, 2/147).
Sementara Ibnu Qudamah mengatakan,
وأي قربة فعلها وجعل ثوابها للميت المسلم نفعه ذلك
Ibadah apapun yang dikerjakan dan pahalanya dihadiahkan untuk mayit yang muslim, maka dia bisa mendapatkan manfaatnya. (as-Syarhul Kabir, 2/425).
Ibnu Qudamah juga menyebutkan pendapat ketiga dalam madzhab hambali,
وقال بعضهم إذا قرئ القرآن عند الميت أو اهدي إليه ثوابه كان الثواب لقارئه ويكون الميت كأنه حاضرها فترجى له الرحمة
Ada sebagian ulama hambali mengatakan, jika seseorang membaca al-Quran di dekat mayit, atau menghadiahkan pahala untuknya, maka pahala tetap menjadi milik yang membaca, sementara posisi mayit seperti orang yang hadir di tempat bacaan al-Quran. Sehingga diharapkan dia mendapat rahmat. (as-Syarhul Kabir, 2/426).
Menimbang Pendapat
Seperti yang disampaikan al-Qarrafi, bahwa kajian masalah ini termasuk pembahasan masalah ghaib. Tidak ada yang tahu sampainya pahala itu kepada mayit, selain Allah. Kecuali untuk amal yang ditegaskan dalam dalil, bahwa itu bisa sampai kepada mayit, seperti doa, permohonan ampunan, sedekah, bayar utang zakat, atau utang sesama mannusia, haji, dan puasa.
Sementara bacaan al-Quran, tidak ada dalil tegas tentang itu. Ulama yang membolehkan mengirimkan pahala bacaan al-Quran kepada mayit mengqiyaskan (analogi) bacaan al-Quran dengan puasa dan haji. Sehingga kita berharap pahala itu sampai, sebagaimana pahala puasa bisa sampai.
Sementara ulama yang melarang beralasan, itu ghaib dan tidak ada dalil. Jika itu bisa sampai, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat akan sibuk mengirim pahala bacaan al-Quran untuk keluaganya yang telah meninggal dunia.
Beberapa keluarga tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Khadijah, Hamzah, Zainab bintu Khuzaimah (istri beliau), semua putra beliau, Qosim, Ibrahim, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Zainab, mereka meninggal sebelum wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tidak dijumpai riwayat, beliau menghadiahkan pahala bacaan al-Quran untuk mereka.
Saran
Melihat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masalah menghadiahkan pahala amal badaniyah kepada mayit, kita bisa menegaskan bahwa masalah ini termasuk masalah ikhtilaf ijtihadiyah fiqhiyah, dan bukan masalah aqidah manhajiyah (prinsip beragama). Sehingga berlaku kaidah, siapa yang ijtihadnya benar maka dia mendapatkan dua pahala dan siapa yang ijtihadnya salah, mendapat satu pahala.
Dari ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ.
“Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala”. (HR. Bukhari 7352 & Muslim 4584)
Kaitannya dengan ini, ada satu sikap yang perlu kita bangun, ketika kita bersinggungan dengan masalah yang termasuk dalam ranah ijtihadiyah fiqhiyah, yaitu mengedepankan sikap dewasa, toleransi dan tidak menjatuhkan vonis kesesatan. Baik yang berpendapat boleh maupun yang berpendapat melarang.
Masing-masing boleh menyampaikan pendapatnya berdasarkan alasan dan dalil yang mendukungnya. Sekaligus mengkritik pendapat yang tidak sesuai dengannya. Sampai batas ini dibolehkan.
Dan perlu dibedakan antara mengkritik dengan menilai sesat orang yang lain pendapat. Dalam masalah ijtihadiyah, mengkritik atau mengkritisi pendapat orang lain yang beda, selama dalam koridor ilmiyah, diperbolehkan. Kita bisa lihat bagaiamana ulama yang menyampaikan pendapatnya, beliau sekaligus mengkritik pendapat lain. Namun tidak sampai menyesatkan tokoh yang pendapatnya berbeda dengannya.
Terkadang, orang yang kurang dewasa, tidak siap dikritik, menganggap bahwa kritik pendapatnya sama dengan menilai sesat dirinya. Dan ini tidak benar.
Allahu a’lam.
Artikel dikutip dari Konsultasi Syariah : http://www.konsultasisyariah.com/menghadiahkan-al-fatihah-menurut-4-madzhab/ 
Senin, 07 September 2015
Posted by Arriqo Arfaq
Tag : ,

Untaian Nasehat untuk Para Pemuda

Bismillah, telah menjadi sunnatullah datang generasi baru yang meneruskan perjuangan generasi terdahulu. Para pemuda, sejak dulu selalu memendam asa dan cita-cita untuk memperbaiki kondisi bangsa. Di dalam Al-Qur’an misalnya, kita mengenal para pemuda bertauhid yang disebut Ashabul Kahfi.
Di dalam sejarah Islam pun kita mengenal pemuda-pemuda pembela agama dari kalangan para sahabat yang mulia seperti Ali bin Abi Thalib, Usamah bin Zaid, dan Ibnu Abbas yang tersohor keahliannya dalam hal tafsir Al-Qur’an.
Di dalam hadits pun kita membaca salah satu golongan yang diberi naungan oleh Allah pada hari kiamat; seorang pemuda yang tumbuh dalam ketaatan beribadah kepada Rabbnya. Pemuda yang tidak silau oleh gemerlapnya dunia. Pemuda yang memancangkan cita-cita setinggi bintang di langit dan berjuang keras menggapai surga.
Namun, realita tidak seindah yang dikira. Banyak pemuda yang justru hanyut dalam arus kerusakan dan penyimpangan. Bukan hanya masalah narkotika, tawuran, atau pergaulan bebas. Lebih daripada itu, kerusakan yang menimpa para pemuda juga telah menyerang aspek-aspek fundamental dalam agama. Munculnya para pengusung pemikiran liberal, merebaknya gerakan-gerakan yang mencuci otak anak muda dengan limbah kesesatan.
Oleh sebab itulah, perlu kesadaran dari semua pihak untuk ikut menjaga tunas-tunas bangsa ini agar tumbuh di atas jalan yang lurus, jalan yang diridhai Allah Ta’ala.
Setiap orang tua yang melepas keberangkatan buah hatinya untuk menimba ilmu di perguruan tinggi sering memesankan kepada anaknya, “Jaga diri baik-baik ya nak … Jangan lupa belajar yang baik, manfaatkan waktumu dengan baik.” Kiranya ini adalah nasihat yang sangat berharga untuk kita.
Bagaimana menjaga diri kita dari hal-hal yang negatif. Tentu, itu bukan perkara sepele dan remeh. Bahkan inilah yang diperintahkan Allah kepada kita untuk menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah berpesan kepada kita untuk menjaga aturan-aturan Allah supaya Allah tetap menjaga dan melindungi kita.
Banyak sekali godaan dan rintangan yang harus kita hadapi di tengah dunia mahasiswa dan anak muda pada umumnya. Sebagian anak muda bahkan punya semboyan ‘mumpung masih muda’ dengan maksud untuk memuaskan segala keinginan hawa nafsunya sampai-sampai ada ungkapan, ‘muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga’.
Sungguh sebuah semboyan yang sarat dengan tanda tanya. Dari pintu surga manakah kiranya masuk orang yang mudanya selalu berfoya-foya dan melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya ?
Anda kuliah dengan amanah dari orangtua dan juga kesadaran diri anda sendiri. Oleh sebab itu sudah saatnya anda meluruskan niat anda dalam mencari ilmu, yaitu untuk memberi manfaat bagi kaum muslimin dan juga dalam rangka membela agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dinilai dengan niatnya dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ilmu Agama Perisai Jiwa
Mahasiswa yang baik bukan hanya yang peduli dengan indeks prestasi dan nilai kuliahnya. Lebih daripada itu, mahasiswa yang baik adalah yang senantiasa menimba ilmu agama. Ilmu Al-Qur’an dan As Sunnah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Allah akan pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) maka Allah akan memudahkan untuknya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Bagi anda yang dulu di SMA sekolah di pesantren atau madrasah jangan terburu-buru merasa hebat. Betapa sering kita temukan, orang-orang yang dulunya mengenyam pendidikan di pesantren atau madrasah namun ketika kuliah menjadi berubah.
Tadinya rajin mengaji kemudian berubah rajin menyanyi. Tadinya rajin membaca Qur’an kemudian berubah rajin fesbukan. Tadinya rajin membeli buku agama kemudian berubah rajin membeli novel pujangga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah melakukan amal-amal sebelum datangnya fitnah-fitnah seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita, di pagi hari seorang masih beriman tetapi tiba-tiba sore hari menjadi kafir dan di sore hari beriman lalu pagi harinya menjadi kafir. Dia rela menjual agamanya demi mengais kesenangan dunia.”(HR. Muslim)
Oleh sebab itu besar sekali kebutuhan kita terhadap ilmu. Karena ilmu akan menyirami hati kita, meneranginya dengan kebenaran dan memuliakannya dengan keimanan. Imam Ahmad berkata, “Manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makan dan minum. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau 2 kali. Adapun ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas. ”

Tujuan Hidup Kita

Mahasiswa adalah manusia. Dan sebagaimana manusia yang lain ia harus tunduk beribadah kepada Allah. Inilah tujuan keberadaan kita di alam dunia ini. Bukan semata-mata untuk memenuhi nafsu dan mengumbar keinginan.
Allah berfirman (yang artinya), ”Tidaklah Aku ciptakan jindan manusia melainkan supaya beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Jangan mengira bahwa ibadah terbatas pada sholat dan puasa, atau berzakat dan naik haji. Ibadah itu luas, mencakup segala ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Segala ucapan dan perbuatan serta keyakinan yang dicintai dan diridhai Allah, maka itu adalah ibadah. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan yang paling rendah -dari cabang iman- itu adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hal ini menunjukkan kepada kita, bahwa ibadah kepada Allah bisa kita lakukan dimanapun dan kapanpun. Bukan hanya di masjid, di pesantren, di bulan Ramadhan, atau di tanah suci. Bahkan, ibadah bisa dilakukan di rumah dengan mengerjakan shalat sunnah, dengan berbakti kepada orang tua, dengan mendengarkan lantunan murottal Al-Qur’an, berdzikir pagi dan petang, dan lain sebagainya. Ibadah juga bisa kita lakukan ketika berada di kampus, dengan menghormati orang-orang yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, menebarkan salam, menundukkan pandangan dari lawan jenis, tidak berdua-duaan dengan wanita bukan mahram, dsb.
Dengan demikian, seorang mahasiswa muslim akan mengarungi lautan ibadah dalam hidupnya, dari satu ketaatan menuju ketaatan yang lain, dari satu amalan menuju amalan yang lain. Sepanjang hayat dikandung badan maka selama itu pula ia tunduk kepada Ar-Rahman.

Siapakah Kita Dibanding Mereka?

Para pendahulu kita yang salih -sahabat-sahabat Nabi- adalah orang-orang yang tidak diragukan keimanannya. Sampai-sampai orang sekelas Abu Bakar dikatakan bahwa imannya lebih berat daripada iman seluruh penduduk bumi selain para Nabi. Orang-orang yang telah mendapatkan janji surga. Meskipun demikian, mereka bukan orang yang sombong dan angkuh dengan prestasinya.
Justru mereka khawatir akan diri dan amal-amalnya. Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aku berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara mereka semua takut dirinya tertimpa kemunafikan.”
Ya, siapakah kita jika dibandingkan dengan mereka ? Sebagian pemuda atau mahasiswa begitu bangga dan pede dengan kecerdasan dan prestasinya, seolah-olah kesuksesan adalah buah ciptaannya. Dialah yang menjadi penentu atas segalanya. Dia lupa bahwa kepandaian, kecerdasan, dan pemahaman adalah karunia dari Allah Ta’ala.
Betapa seringnya kita lalai dari bersyukur kepada Allah. Meskipun demikian, kita sering merasa bahwa diri kitalah yang berjasa, diri kitalah yang menjadi kunci kebaikan, padahal di tangan Allah semata segala kebaikan. Oleh sebab itu kita harus merasa khawatir akan nasib amal-amal kita. Di samping kita terus berharap dan berusaha menggapai ridha-Nya.

Jalan Kebahagiaan

Ketahuilah, wahai saudaraku -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya kebahagiaan yang kita idam-idamkan adalah sebuah kenikmatan abadi di akhirat nanti.
Dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman, “Aku telah menyiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang salih, kesenangan yang belum dilihat oleh mata, belum didengar oleh telinga, dan belum terbersit dalam hati manusia.” (HR. Bukhari)
Iman dan takwa adalah bekal kita untuk meraih kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang beriman di dunia dan di akhirat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan lezatnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim).
Kebahagiaan di dalam hati orang-orang yang beriman adalah kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan dengan untaian pantun dan sajak pujangga. Kebahagiaan yang membuat seorang budak hitam yang bernama Bilal bin Rabah lebih memilih disiksa daripada kembali kepada kekafiran. Kebahagiaan yang membuat seorang Salman Al Farisi berpetualang mencari kebenaran Islam tanpa kenal lelah. Kebahagiaan yang membuat seorang Abu Bakar Ash-Shiddiq rela mencurahkan semua hartanya untuk sedekah di jalan Allah.
Kebahagiaan yang tidak lekang oleh masa, tidak hancur oleh umur dan tidak surut karena ocehan dan cercaan manusia. Sebab kebahagiaan itu telah bersemayam di dalam lubuk hatinya. Kemanapun dia pergi maka kebahagiaan selalu menyertainya.

Referensi : Wahyudi, Ari. 2015. Untaian Nasehat Untuk Mahasiswa Baru: Masa Muda Untuk Apa?. Website : http://muslim.or.id/25864-untaian-nasehat-untuk-mahasiswa-baru-masa-muda-untuk-apa.html



Posted by Arriqo Arfaq

Syukur Nikmat, Kunci Dibukanya Pintu Rizki


Dari Abu Hurairah bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menceritakan :
“Ada tiga orang dari Bani Israil menderita penyakit belang, botak, dan buta. Allah hendak menguji mereka, maka Allah pun utus kepada mereka Malaikat.
Malaikat itu datang kepada si belang dan bertanya: Apakah yang paling kamu dambakan? Si belang menjawab: Saya mendambakan paras yang tampan dan kulit yang bagus serta hilang penyakit yang menjadikan orang-orang jijik kepadaku. Malaikat itu pun mengusap si belang, maka hilanglah penyakit yang menjijikkannya itu, bahkan ia diberi paras yang tampan. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si belang menjawab: Unta. Kemudian ia diberi unta yang bunting sepuluh bulan. Dan malaikat tadi berkata: Semoga Allah memberi barakah atas apa yang kamu dapatkan ini.
Kemudian Malaikat itu datang kepada si botak dan bertanya: Apakah yang paling kamu dambakan? Si botak menjawab: Saya mendambakan rambut yang bagus dan hilangnya penyakit yang menjadikan orang-orang jijik kepadaku ini. Malaikat itu pun mengusap si botak, maka hilanglah penyakitnya itu, serta diberilah ia rambut yang bagus. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si botak menjawab: Sapi. Kemudian ia diberi sapi yang bunting. Dan malaikat tadi berkata: Semoga Allah memberi barakah atas apa yang kamu dapatkan ini.
Kemudian Malaikat itu datang kepada si buta dan bertanya: Apakah yang paling kamu dambakan? Si buta menjawab: Saya mendambakan agar Allah mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat. Malaikat itu pun mengusap si buta, dan Allah mengembalikan penglihatannya. Malaikat itu bertanya lagi: Harta apakah yang paling kamu senangi? Si buta menjawab: Kambing. Kemudian ia diberi kambing yang bunting.
Selang beberapa waktu kemudian, unta, sapi, dan kambing tersebut berkembang biak yang akhirnya si belang tadi memiliki unta yang memenuhi suatu lembah, demikian juga dengan si botak dan si buta, masing-masing memiliki sapi dan kambing yang memenuhi suatu lembah.
Kemudian Malaikat tadi datang kepada si belang dengan menyerupai orang yang berpenyakit belang seperti keadaan si belang waktu itu, dan berkata: Saya adalah orang miskin yang kehabisan bekal di tengah perjalanan. Sampai hari ini tidak ada yang mau memberi pertolongan kecuali Allah kemudian engkau. Saya meminta kepadamu -dengan menyebut Dzat Yang telah memberi engkau paras yang tampan dan kulit yang bagus serta harta kekayaan- seekor unta untuk bekal dalam perjalanan saya. Si belang berkata: Hak-hak yang harus saya berikan masih banyak.
Malaikat itu berkata: Kalau tidak salah saya sudah mengenalimu. Bukankah kamu dahulu orang yang berpenyakit belang sehingga orang lain merasa jijik kepadamu? Bukankah kamu dahulu orang yang miskin kemudian Allah memberi kekayaan kepadamu? Si belang berkata: Harta kekayaanku ini adalah warisan dari nenek moyangku. Malaikat itu berkata: Jika kamu berdusta, semoga Allah mengembalikanmu seperti keadaan semula.
Kemudian Malaikat itu datang kepada si botak seperti keadaan si botak waktu itu. Dan berkata kepadanya seperti apa yang dikatakan kepada si belang. Si botak juga menjawab seperti jawaban si belang tadi. Kemudian Malaikat tadi berkata: Jika kamu berdusta, semoga Allah ? mengembalikanmu seperti keadaan semula.
Kemudian Malaikat tadi mendatangi si buta dengan menyerupai orang buta seperti keadaan si buta waktu itu dan berkata: Saya adalah orang miskin yang kehabisan bekal di tengah perjalanan. Sampai hari ini tidak ada yang mau memberi pertolongan kecuali Allah ? kemudian engkau. Saya meminta kepadamu -dengan menyebut Dzat Yang telah mengembalikan penglihatanmu- seekor kambing untuk bekal dalam perjalanan saya. Si buta berkata: Saya dahulu adalah orang yang buta kemudian Allah mengembalikan penglihatan saya. Maka ambillah apa yang kamu inginkan dan tinggalkanlah apa yang tidak kamu senangi. Demi Allah, sekarang saya tidak akan memberatkan sesuatu kepadamu yang kamu ambil karena Allah Yang Maha Mulia. Malaikat itu berkata: Peliharalah harta kekayaanmu, sebenarnya kamu itu diuji dan Allah telah ridha kepadamu dan murka kepada kedua temanmu (si belang dan si botak).” (HR. Al Bukhari dan Muslim, hadits ini juga disebutkan oleh Al Imam An Nawawi dalam Riyadhush Shalihin hadits no. 65)
Hadits tersebut menceritakan tentang tiga orang yang hidup dizaman Bani Isra’il. Banyak sekali hikmah yang dapat kita ambil dari hadits tersebut, diantaranya:
1.    Syukur nikmat, sebab dibukanya pintu barakah
Seluruh nikmat yang kita rasakan ini datangnya dari Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah lah (datangnya).” (An Nahl: 53)
2.    Syukur nikmat, benteng dari adzab allah subhanahu wa ta’ala
Ini merupakan janji Allah subhanahu wata’ala sebagaimana firman-Nya:
“Mengapa Allah akan mengadzabmu sementara kamu bersyukur dan beriman?” (An Nisa’: 147)
3.    Anjuran bershadaqah
Hadits tersebut juga menunjukkan kepada kita tentang anjuran untuk bershadaqah. Tidaklah harta itu berkurang karena shadaqah, dan tidaklah orang kaya itu menjadi miskin karena dia rajin bershadaqah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah shadaqah itu mengurangi harta.” (HR. Muslim)
 “Dan apa saja yang kamu infakkan, maka Dia (Allah) akan menggantinya dan Dialah sebaik-baik pemberi rizki.” (Saba’: 39)
Dalam sebuah hadits Qudsi, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Allah Ta’ala berfirman: Berinfaklah wahai anak Adam (manusia), pasti kamu akan diberi gantinya.” (HR. Al Bukhari, Muslim)
4.    Peringatan dari perbuatan kikir
Sifat kikir yang ditunjukkan oleh si belang dan si botak tersebut justru berakibat buruk bagi diri mereka sendiri. Allah subhanahu wata’ala murka kepada mereka. Orang-orang seperti inilah yang Allah subhanahu wata’ala nyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. (Yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh orang untuk berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Allah yang diberikan kepada mereka.” (An Nisa’: 36-37)
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya dijalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka dengan adzab yang pedih.” (At Taubah: 34)
5.    Kejujuran dan kedermawanan merupakan sifat terpuji dan kedua sifat tersebut dimiliki oleh si buta. Kedua sifat itu pula yang telah membawanya bersyukur dan bermurah hati, sehingga akhirnya dia memperoleh keridhaan Allah.
" Dan (ingat juga) tatkala Tuhan memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan  menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azabku sangat pedih". (Ibrahim : 7)
 6.    Hadits Abu Hurairah di atas mengandung pengarahan dan bimbingan melalui kisah tersebut. Sebab, pengaruhnya sangat besar di dalam jiwa dibanding sekedar memberi nasihat.

“ Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu, dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (Hud : 120)
Senin, 31 Agustus 2015
Posted by Arriqo Arfaq

Akhlak Mulia


Dalam sebuah hadits, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik).”
Pada sebagian riwayat:
لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Islam adalah agama yang penuh keindahan. Ia dibangun di atas akidah tauhid yang bersih dari kesyirikan. Ia membebaskan manusia dari penghambaan kepada makhluk, hingga cinta dan peribadatan hanya untuk Allah Rabbul ‘Alamin. Allah l berfirman:
Katakanlah, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (al-An’am: 162—163)
Ibadahnya mudah, tidak membebani. Dengannya jiwa menjadi suci dan dada menjadi lapang. Muamalahnya adil dan jauh dari kezaliman, mewujudkan suasana bantu-membantu di atas takwa dan kebaikan. Demikian pula akhlak yang dibawa oleh Islam adalah akhlak yang agung dan menakjubkan.
Tentang keindahan Islam ini, asy-Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di  (wafat tahun 1376 H) mengatakan, “Islam memerintahkan segala amalan kebaikan, akhlak-akhlak mulia, dan seluruh kemaslahatan manusia. Islam mengajarkan keadilan, keutamaan, kasih sayang dan semua kebajikan. Sebaliknya, Islam melarang kezaliman, penyimpangan, dan akhlak-akhlak yang tercela. Tidak ada satu sisi kebaikan pun yang dibawa oleh para nabi dan rasul melainkan syariat Rasulullah n menetapkannya. Demikian pula, tidak ada satu maslahat pun baik duniawi maupun ukhrawi yang diseru oleh syariat nabi-nabi terdahulu melainkan syariat Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam juga menyeru kepadanya. Demikian pula segala kerusakan, syariat Islam melarangnya dan memerintahkan agar dijauhi.” (ad-Durrah al-Mukhtasharah fi Mahasini ad-Dinil Islami)

Kiat-kiat untuk Berakhlak Mulia
Diantara sebab yang mengantarkan pada akhlak Islami adalah memperbanyak membaca Al Qur’an serta men-tadabburi maknanya. Lalu bersungguh-sungguh untuk berperilaku dengan akhlak yang sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam Al Qur’an mengenai sifat-sifat para hamba-Nya yang shalih. Hal ini dapat mengantarkan kita pada akhlak yang mulia.
Demikian juga hendaknya memperbanyak duduk bersama orang-orang baik dan berakrab-akrab dengan mereka. Juga dengan memperbanyak membaca hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang menunjukkan tentang akhlak mulia.
Demikian juga hendaknya banyak membaca kisah-kisah orang terdahulu dalam kitab-kitab sirah nabawiyyah dan sejarah Islam, yaitu membaca bagaimana sifat dan akhlak orang-orang shalih di masa itu. Semua hal ini dapat mengantarkan kita pada akhlak yang mulia dan beristiqamah di atasnya.
Namun sebab yang paling besar adalah Al Qur’an dengan banyak membacanya serta men-tadaburi maknanya dengan benar-benar menghadirkan hati yang penuh keinginan tulus untuk berakhlak mulia ketika membaca Al Qur’an dan men-tadaburi-nya. Inilah hal terbesar yang bisa mengantarkan kepada akhlak mulia, dengan juga memberi perhatian yang serius terhadap hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang akhlak mulia.

Akhlak Mulia Berat Timbangannya
Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma berkata menyifati Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا وَقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا
“Beliau tidak pernah berbuat kejelekan dan tidak pernah mengucapkan ucapan yang jelek.” Lalu Abdullah bin Amr berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang-orang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Al-Bukhari no. 6035 dan Muslim no. 2321)
Dari Abu Ad-Darda` radhiallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin kelak pada hari kiamat daripada akhlak yang baik. Sesungguhnya Allah amatlah murka terhadap seorang yang keji lagi mengucapkan ucapan yang jelek.” (HR. At-Tirmizi no. 2002, Abu Daud no. 4799, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5726)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga, maka beliau pun menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia.” Dan beliau juga ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka, maka beliau menjawab, “Mulut dan kemaluan.” (HR. At-Tirmizi no. 2004)
Wallahu waliyyut taufiq.


Referensi :

Sabtu, 22 Agustus 2015
Posted by Arriqo Arfaq

Niat Puasa Syawal

Alhamdulillah, wash-shalatu wassalamu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, wa ba’du 
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama menyatakan bahwa tidak wajib berniat di malam hari untuk puasa sunah, baik puasa sunah mutlak maupun terkait hari tertentu. Pendapat ini berdasarkan hadis Aisyah radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan, “Rasulullah menemuiku pada suatu pagi, kemudian beliau bertanya, ‘Apakah kalian memiliki suatu makanan?’ Aisyah mengatakan, ‘Tidak.’ Beliau bersabda,
فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ
‘Jika demikian, aku puasa.’
Di kesempatan hari yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami (Aisyah). Kami mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, kami diberi hadiah hais (adonan kurma).’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta,
أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا
‘Tunjukkan kepadaku, karena tadi pagi aku berniat puasa.’” (HR. Muslim, no. 1154)
Dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “jika demikian, saya puasa” bisa dipahami bahwa beliau belum berniat untuk puasa di malam hari.
Sebagian ulama berpendapat –seperti: Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah– bahwa diwajibkan untuk berniat di malam hari untuk puasa “tertentu” [1], seperti: puasa enam hari bulan Syawal, hari Arafah, Asyura, atau puasa “tertentu” lainnya. Jika ada orang yang melakukan puasa setengah hari (karena dia baru berniat di siang hari), dia tidak dianggap telah melaksanakan puasa satu hari penuh di hari itu [2].
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan pahala untuk puasa enam hari di bulan Syawal, bagi mereka yang puasa penuh sehari. Karena itu, niat puasa syawal harus dilakukan sejak sebelum subuh.
Di samping itu, dijelaskan oleh beberapa ulama bahwa pahala puasa dicatat sejak mulai berniat. Dengan demikian, jika niat puasanya dimulai tidak dari awal hari –yaitu sejak terbit fajar– maka pahalanya kurang, sehingga dia tidak mendapatkan pahala yang dijanjikan untuk puasa enam hari ini.
Setelah memberi pemaparan di atas, Dr. Khalid al-Musyaiqih mengatakan,
وعلى هذا إذا بدأ الصائم صومه من النهار فلا يصح صيامه على أنه نفل معين، وإنما يكون نفلاً مطلقاً، يعني له أجر صيام النفل المطلق، وهذا الذي يظهر لي؛ والله تعالى أعلم
Oleh karena itu, jika ada orang yang mengawali puasa sunah syawal di siang hari maka puasanya tidak bisa dinilai sebagai puasa sunah syawal. Namun, hanya puasa sunah mutlak [3]. Artinya, dia hanya mendapat pahala puasa sunah mutlak. Inilah pendapat yang menurutku lebih kuat. Allahu a’lam.
(http://www.islamtoday.net/fatawa/quesshow-60-93957.htm)
Dr. Khalid Al-Musyaiqih salah satu pengajar di Universitas Al-Qasim. Beliau merupakan murid Syekh Ibnu Utsaimin dan Syekh Abdullah Al-Qar’awi. Saat ini, beliau aktif meneliti dan memberikan catatan kaki untuk kitab-kitab para ulama.
Catatan kaki:
[1] Puasa sunah ada dua:
  1. Puasa sunah mu’ayyan (tertentu), yaitu puasa sunah yang terkait dengan hari atau tanggal tertentu, seperti: puasa Senin-Kamis, puasa Arafah, dan puasa 6 hari di bulan Syawal.
  2. Puasa sunah mutlak, yaitu puasa sunah yang tidak terkait dengan hari atau tanggal tertentu. Karena itu, tidak ada batasan waktu maupun jumlah. Puasa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagaimana disebutkan dalam hadis Aisyah di atas adalah contoh puasa sunah mutlak.
[2] Jika ada orang yang berniat puasa sunah di siang hari maka dia mulai dihitung berpuasa sejak dia berniat puasa. Adapun sebelum itu, dia belum berniat sehingga tidak dianggap menjalankan ibadah, meskipun belum makan atau minum. Dengan demikian, ketika ada orang yang berniat puasa Senin setelah jam 9.00 maka dia baru dianggap puasa sejak jam 9.00. Apakah orang ini telah dianggap melaksanakan puasa sunah hari Senin? Jawabannya, orang ini tidak dianggap telah berpuasa sunah hari Senin karena dia tidak melaksanakan puasa Senin sejak awal, tetapi baru mulai sejak jam 9.00. Allahu a’lam.
[3] Misalnya: seseorang mulai berniat puasa Kamis sejak jam 10.00, maka dia baru dihitung berpuasa hari Kamis sejak jam 10.00. Dengan demikian, dia tidak dianggap telah melaksanakan puasa sunah hari Kamis sehingga dia hanya mendapatkan pahala puasa mutlak, tetapi tidak mendapatkan pahala puasa sunah hari Kamis. Allahu a’lam.
Keterangan tambahan:
Tidak ada lafal niat khusus untuk puasa Syawal. Seseorang yang sudah memiliki keinginan untuk puasa Syawal di malam hari itu sudah dianggap berniat, karena inti niat adalah keinginan dan bermaksud. Lebih dari itu, melafalkan niat adalah satu perbuatan yang tidak pernah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dikutip dari konsultasisyariah.com
Selasa, 04 Agustus 2015
Posted by Arriqo Arfaq
Tag : ,

Hari Raya di Hari Jum'at


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Salah satu pertanyaan yang mulai banyak diangkat adalah mengenai hari raya yang bertepatan dengan hari jumat. Mengingat ada yang istimewa di sana. Kaum muslimin menghadapi dua hari raya sekaligus. Hari raya tahunan dan hari raya pekanan. Mereka melakukan ibadah besar dua kali, shalat id dan jumatan.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah orang yang telah mengikuti jamaah shalat id boleh meninggalkan jumatan?
Kita akan simak beberapa dalil berikut untuk menyimpulkan hukum jumatan ketika hari raya jatuh di hari jumat.
Pertama, hadis dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhumapernah bertanya kepadanya, ”Apakah kamu pernah mengalami dua hari raya dalam sehari di zaman Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam? Lalu apa yang beliau lakukan?”
Jawab Zaid bin Arqam,
نعم، صَلَّى الْعِيدَ، ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: «مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَلْيُصَلِّ»
Ya, beliau melakukan shalat id, kemudian beliau memberikan rukhshah untuk menghadiri jumatan. Beliau bersabda, ”Siapa yang ingin jumata, silahkan datang jumatan.” (HR. Ahmad 19318, Abu Daud 1070, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Kedua, hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah ketika hari id yang bertepatan dengan hari jumat,
قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Di hari ini ada dua hari raya. Siapa yang telah hadir shalat id, dia boleh tidak jumatan. Tapi kami akan menyelenggarakan jumatan. (HR. Abu Daud 1073, al-Hakim 1064, al-Baihaqi dalam al-Kubro, dan dishahihkan al-Albani).
Ketiga, hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah terjadi hari raya yang bertepatan dengan hari jumat. Kemudian beliau bersabda,
مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا، وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ
Siapa yang hendak menghadiri jumatan, silahkan dia datang. Siapa yang ingin tidak hadir, silahkan tidak hadir. (HR. Ibnu Majah 1312 dan statusnya shahih li ghairih)
Keempat, dari ulama tabiin, Atha’ bin Abi Rabah, beliau menceritakan pengalamannya di zaman kepemimpinan Ibnu Zubair,
”Ibnu Zubair pernah mengimami shalat id di waktu dhuha yang bertepatan dengan hari jumat. Kemudian ketika kami berangkat jumatan, ternyata Ibnu Zubair tidak datang. Akhirnya kami shalat (dzuhur) sendiri-sendiri. Ketika itu, Ibnu Abbas berada di Thaif. Ketika Ibnu Abbas datang, beliau mengatakan,
أَصَابَ السُّنَّةَ
Telah sesuai sunnah. (HR. Abu Daud 1071 dan dishahihkan al-Albani).
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah (no. 1465) terdapat tambahan,
قال ابن الزبير: رأيت عمر بن الخطاب إذا اجتمع عيدان صنع مثل هذا
Ibnu Zubair mengatakan, “Saya melihat Umar bin Khatab, ketika hari raya terjadi di hari jumat, beliau melakukan semacam ini.”
Kelima, hadis dari Abu Ubaid, beliau menceritakan pengalamannya di zaman Utsman, ketika id bertepatan dengan hari jumat. Ketika khutbah id, Utsman mengatakan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ العَوَالِي فَلْيَنْتَظِرْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
Wahai manusia, hari ini terjadi dua hari raya. Siapa di antara penduduk desa pelosok yang ingin menunggu jumatan, silahkan dia menunggunya. Siapa yang ingin pulang (dan tidak jumatan), aku izinkan untuk pulang. (HR. Bukhari 5572).
Keenam, Ali bin Abi Thalib pernah menyampaikan khutbah ketika hari raya yang bertepatan dengan hari jumat,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ، وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ
Siapa yang ingin jumatan, silahkan jumatan. Siapa yang ingin duduk (di rumah), silahkan diam di rumah. (HR. Abdurrazaq dalam al-Mushannaf, 5731)
Kesimpulan:
Pertama, berdasarkan semua hadis dan riwayat dari para sahabat di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang telah menghadiri shalat id, boleh tidak menghadiri jumatan. Sebaliknya, siapa yang tidak hadir shalat id, kewajiban jumatan tidak gugur baginya.
Kedua, status bolehnya tidak jumatan adalah rukhshah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis yang pertama. Karena itu, jika tidak ada udzur dan kebutuhan mendesak, dianjurkan agar mengambil azimah (lawan rukhshah), dengan tetap menghadiri jumatan.
Di masa Utsman (simak hadis kelima), rukhshah ini beliau berikan kepada ahlul awali (penduduk daerah pelosok). Di pagi hari mereka datang untuk shalat id di Madinah. Akan sangat merepotkan jika mereka pulang kemudian balik lagi ke Madinah siang hari untuk jumatan.
Ketiga, bagi yang tidak menghadiri jumatan, tetap wajib mengerjakan shalat dzuhur. Baik shalat di rumah, atau di masjid yang tidak ada jumatannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis keempat.
Keempat, jika di masjid utama tidak ada jumatan, karena takmir tidak menyelenggarakan, maka makmum tidak menggalang jumatan sendiri. Namun mereka shalat dzuhur sendiri-sendiri. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis keempat.
Kelima, tidak disyariatkan adzan di masjid selain untuk jumatan.
Dalam Fatwa Lajnah dinyatakan,
لا يشرع في هذا الوقت الأذان إلا في المساجد التي تقام فيها صلاة الجمعة، فلا يشرع الأذان لصلاة الظهر ذلك اليوم
Di hari itu, tidak disyariatkan adzan kecuali di masjid yang menyelenggarakan jumatan. Tidak disyariatkan adzan untuk shalat dzuhur di hari itu. (Fatwa Lajnah Daimah, no. 21160).
Demikian,
Allahu a’lam
Dikutip dari Konsultasisyariah.com
Posted by Arriqo Arfaq
Tag : ,

BRENT Crude Oil

Gold Price

Popular Post

Blogger templates

Date

- Copyright © Young Geoscience -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -