Archive for Juli 2013

13 Adab Berdo'a

Pertama, Mencari Waktu yang Mustajab

Di antara waktu yang mustajab adalah hari Arafah, Ramadhan, sore hari Jumat, dan waktu sahur atau sepertiga malam terakhir.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ينزل الله تعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الأخير فيقول عز وجل: من يدعونى فأستجب له، من يسألنى فأعطيه، من يستغفرنى فأغفر له




Allah turun ke langit dunia setiap malam, ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, Aku kabulkan, siapa yang meminta, akan Aku beri, dan siapa yang memohon ampunan pasti Aku ampuni’.” (HR. Muslim)
Kedua, Memanfaatkan Keadaan yang Mustajab Untuk Berdoa
Di antara keadaan yang mustajab untuk berdoa adalah: ketika perang, turun hujan, ketika sujud, antara adzan dan iqamah, atau ketika puasa menjelang berbuka.
Abu Hurairah radhiallahu’anhu mengatakan, “Sesungguhnya pintu-pintu langit terbuka ketika jihad fi sabillillah sedang berkecamuk, ketika turun hujan, dan ketika iqamah shalat wajib. Manfaatkanlah untuk berdoa ketika itu.” (Syarhus Sunnah al-Baghawi, 1: 327)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa antara adzan dan iqamah tidak tertolak.” (HR. Abu Daud, Nasa’i, dan Tirmidzi)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keadaan terdekat antara hamba dengan Tuhannya adalah ketika sujud. Maka perbanyaklahberdoa.” (HR. Muslim)
Ketiga, Menghadap Kiblat dan Mengangkat Tangan
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Padang Arafah, beliau menghadap kiblat, dan beliau terus berdoa sampai matahari terbenam. (HR. Muslim)
Dari Salman radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Tuhan kalian itu Malu dan Maha Memberi. Dia malu kepada hamba-Nya ketika mereka mengangkat tangan kepada-Nya kemudian hambanya kembali dengan tangan kosong (tidak dikabulkan).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan beliau hasankan)
Cara mengangkat tangan:
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdoa, beliau menggabungkan kedua telapak tangannya dan mengangkatnya setinggi wajahnya (wajah menghadap telapak tangan). (HR. Thabrani)
Catatan: Tidak boleh melihat ke atas ketika berdoa.
Keempat, Dengan Suara Lirih dan Tidak Dikeraskan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
Janganlah kalian mengeraskan doa kalian dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra: 110)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi Zakariya ‘alaihis salam, yang berdoa dengan penuh khusyu’ dan suara lirih.
ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا (2) إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا


(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria,
yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut
.” (QS. Maryam: 2–3)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55)
Dari Abu Musa radhiallahu’anhu bahwa suatu ketika para sahabat pernah berdzikir dengan teriak-teriak. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengingatkan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ



Wahai manusia, kasihanilah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru Dzat yang tuli dan tidak ada, sesungguhnya Allah bersama kalian, Dia Maha mendengar lagi Maha dekat.” (HR. Bukhari)
Kelima, Tidak Dibuat Bersajak
Doa yang terbaik adalah doa yang ada dalam Alquran dan sunah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55)
Ada yang mengatakan: maksudnya adalah berlebih-lebihan dalam membuat kalimat doa, dengan dipaksakan bersajak.
Keenam, Khusyu’, Merendahkan Hati, dan Penuh Harap
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoakepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)
Ketujuh, Memantapkan Hati Dalam Berdoa dan Berkeyakinan Untuk Dikabulkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يقل أحدكم إذا دعا اللهم اغفر لي إن شئت اللهم ارحمني إن شئت ليعزم المسألة فإنه لا مُكرِه له
Janganlah kalian ketika berdoa dengan mengatakan, ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau mau. Ya Allah, rahmatilah aku, jika Engkau mau’. Hendaknya dia mantapkan keinginannya, karena tidak ada yang memaksa Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian berdoa, hendaknya dia mantapkan keinginannya. Karena Allah tidak keberatan dan kesulitan untuk mewujudkan sesuatu.” (HR. Ibn Hibban dan dishahihkan Syua’ib Al-Arnauth)
Di antara bentuk yakin ketika berdoa adalah hatinya sadar bahwa dia sedang meminta sesuatu. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ادعوا الله وأنتم موقنون بالإجابة واعلموا أن الله لا يستجيب دعاء من قلب غافل لاه
Berdoalah kepada Allah dan kalian yakin akan dikabulkan. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai, dan lengah (dengan doanya).” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan Al-Albani)
Banyak orang yang lalai dalam berdoa atau bahkan tidak tahu isi doa yang dia ucapkan. Karena dia tidak paham bahasa Arab, sehingga hanya dia ucapkan tanpa direnungkan isinya.
Kedelapan, Mengulang-ulang Doa dan Merengek-rengek Dalam Berdoa
Mislanya, orang berdoa: Yaa Allah, ampunilah hambu-MU, ampunilah hambu-MU…, ampunilah hambu-MU yang penuh dosa ini. ampunilah ya Allah…. Dia ulang-ulang permohonannya. Semacam ini menunjukkan kesungguhhannya dalam berdoa.
Ibn Mas’ud mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau berdoa, beliau mengulangi tiga kali. Dan apabila beliau meminta kepada Allah, beliau mengulangi tiga kali. (HR. Muslim)
Kesembilan, tidak tergesa-gesa agar segera dikabulkan, dan menghindari perasaan: mengapa doaku tidak dikabulkan atau kalihatannya Allah tidak akan mengabulkan doaku.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُسْتَجَابُ لأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُولُ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِى


Akan dikabulkan (doa) kalian selama tidak tergesa-gesa. Dia mengatakan, ‘Saya telah berdoa, namun belum saja dikabulkan‘.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sikap tergesa-gesa agar segera dikabulkan, tetapi doanya tidak kunjung dikabulkan, menyebabkan dirinya malas berdoa. Dari Abu Hurairahradhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يزال الدعاء يستجاب للعبد ما لم يدع بإثم أو قطيعة رحم، ما لم يستعجل، قيل: يا رسول الله وما الاستعجال؟ قال: يقول قد دعوت وقد دعوت فلم أر يستجيب لي، فيستحسر عند ذلك ويدع الدعاء رواه مسلم




Doa para hamba akan senantiasa dikabulkan, selama tidak berdoa yang isinya dosa atau memutus silaturrahim, selama dia tidak terburu-buru.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud terburu-buru dalam berdoa?” Beliau bersabda, “Orang yang berdoa ini berkata, ‘Saya telah berdoa, Saya telah berdoa, dan belum pernah dikabulkan’. Akhirnya dia putus asa dan meninggalkan doa.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Sebagian ulama mengatakan: “Saya pernah berdoa kepada Allah dengan satu permintaan selama dua puluh tahun dan belum dikabulkan, padahal aku berharap agar dikabulkan. Aku meminta kepada Allah agar diberi taufiq untuk meninggalkan segala sesuatu yang tidak penting baguku.”
Kesepuluh, Memulai Doa dengan Memuji Allah dan Bershalawat Kepada NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Bagian dari adab ketika memohon dan meminta adalah memuji Dzat yang diminta. Demikian pula ketika hendak berdoa kepada Allah. Hendaknya kita memuji Allah dengan menyebut nama-nama-Nya yang mulia (Asma-ul husna).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar ada orang yang berdoa dalam shalatnya dan dia tidak memuji Allah dan tidak bershalawat kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda, “Orang ini terburu-buru.” kemudian beliau bersabda,
إذا صلى أحدكم فليبدأ بتحميد ربه جل وعز والثناء عليه ثم ليصل على النبي صلى الله عليه وسلم ثم يدعو بما شاء
Apabila kalian berdoa, hendaknya dia memulai dengan memuji dan mengagungkan Allah, kemudian bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian berdoalah sesuai kehendaknya.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani)
Kesebelas, Memperbanyak Taubat dan Memohon Ampun Kepada Allah
Banyak mendekatkan diri kepada Allah merupakan sarana terbesar untuk mendapatkan cintanya Allah. Dengan dicintai Allah, doa seseorang akan mudah dikabulkan. Di antara amal yang sangat dicintai Allah adalah memperbanyak taubat dan istighfar.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ….، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ




Tidak ada ibadah yang dilakukan hamba-Ku yang lebih Aku cintai melebihi ibadah yang Aku wajibkan. Ada hamba-Ku yang sering beribadah kepada-Ku dengan amalan sunah, sampai Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka …jika dia meminta-Ku, pasti Aku berikan dan jika minta perlindungan kepada-KU, pasti Aku lindungi..” (HR. Bukhari)
Diriwayatkan bahwa ketika terjadi musim kekeringan di masa Umar bin Khatab, beliau meminta kepada Abbas untuk berdoa. Ketika berdoa, Abbas mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya tidaklah turun musibah dari langit kecuali karena perbuatan dosa. dan musibah ini tidak akan hilang, kecuali dengan taubat…”
Kedua Belas, Hindari Mendoakan Keburukan, Baik Untuk Diri Sendiri, Anak, Maupun Keluarga
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, mencela manusia yang berdoa dengan doa yang buruk,
وَيَدْعُ الإِنسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الإِنسَانُ عَجُولاً
Manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (QS. Al-Isra’: 11)
وَلَوْ يُعَجِّلُ اللَّهُ لِلنَّاسِ الشَّرَّ اسْتِعْجَالَهُم بِالْخَيْرِ لَقُضِيَ إِلَيْهِمْ أَجَلُهُمْ


Kalau sekiranya Allah menyegerakan keburukan bagi manusia seperti permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan, pastilah diakhiri umur mereka (binasa).” (QS. Yunus: 11)
Ayat ini berbicara tentang orang yang mendoakan keburukan untuk dirinya, hartanya, keluarganya, dengan doa keburukan.
Dari Jabir radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تدعوا على أنفسكم، ولا تدعوا على أولادكم، ولا تدعوا على خدمكم، ولا تدعوا على أموالكم، لا توافق من الله ساعة يسأل فيها عطاء فيستجاب لكم
Janganlah kalian mendoakan keburukan untuk diri kalian, jangan mendoakan keburukan untuk anak kalian, jangan mendoakan keburukan untuk pembantu kalian, jangan mendoakan keburukan untuk harta kalian. Bisa jadi ketika seorang hamba berdoa kepada Allah bertepatan dengan waktu mustajab, pasti Allah kabulkan.” (HR. Abu Daud)
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يزال الدعاء يستجاب للعبد ما لم يدع بإثم أو قطيعة رحم


Doa para hamba akan senantiasa dikabulkan, selama tidak berdoa yang isinya dosa atau memutus silaturrahim.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Ketiga Belas, Menghindari Makanan dan Harta Haram
Makanan yang haram menjadi sebab tertolaknya doa.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ






Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyib (baik). Dia tidak akan menerima sesuatu melainkan yang baik pula. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya, ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’. Dan Allah juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu’. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seroang laki-laki yang telah lama berjalan karena jauhnya jarak yang ditempuhnya. Sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a, ‘Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku’. Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan mengabulkan do’anya?” (HR. Muslim)
Allahu a’lam. 
Sumber: www.konsultsisyariah.com
Minggu, 07 Juli 2013
Posted by Arriqo Arfaq

Kisah Isra' Mi'raj


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Isra’ mi’raj, satu peristiwa yang luar biasa. Allah abadikan dalam Al-Quran, di awal surat Al-Isra dan surat An-Najm. Terutama pada surat An-Najm, Allah menceritakan kejadian ini dengan lebih rinci. Kita simak firman Allah berikut,
أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى. وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى. عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى. إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى. مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى. لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
Apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? (*) Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha (*) di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (*) (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (*) penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (*) Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (QS. An-Najm: 12 – 18).

Hadis Isra’ Mir’aj

Ada sekitar 16 shahabat yang meriwayatkan kisah isra miraj. Diantaranya: Umar bin Khattab, Anas bin Malik, Abu Dzar, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, Hudzaifah bin Yaman, Shuhaib, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Ali bin Abi Thalib –radhiallahu ‘anhum. Imam Al-Albani mengumpulkan berbagai riwayat tentang isra mi’raj dan beliau bukukan dalam karya yang berjudul: Al-Isra wal Mi’raj.
Berikut kumpulan riwayat mengenai isra miraj yang kami simpulkan dari buku Al-Isra wal Mi’raj,
“Atap rumahku terbelah ketika saya berada di Mekkah dalam keadaan antara tidur dan terjaga, lalu turunlah Jibril -’alaihis salam- dan membelah dadaku. Kemudian dia mencucinya dengan air zam-zam, lalu dia datang dengan membawa sebuah baskom dari emas yang penuh berisi hikmah dan iman dan menuangkannya ke dalam dadaku, kemudian dia menutupnya (dadaku). Kemudian didatangkan kepadaku Buroq – hewan putih yang panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari bighol (peranakan keledai dengan kuda), dia meletakkan telapak kakinya di ujung pandangannya -.
Sayapun menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, lalu saya mengikatnya di tempat para nabi mengikat (tunggangan). Kemudian saya masuk ke mesjid dan sholat 2 raka’at (mengimami para nabi dan rasul) kemudian keluar. Kemudian kami (saya dan jibril) naik ke langit (pertama) dan Jibril minta izin untuk masuk, maka dikatakan (kepadanya), “Siapa engkau?” Dia menjawab, “Jibril”. Penjaga itu bertanya lagi, “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab, “Muhammad” Dia bertanya lagi, “Apakah dia telah diutus?” Jibril menjawab, “Dia telah diutus”. Maka dibukakan pintu langit untuk kami.
Kemudian saya bertemu dengan seseorang yang duduk, sementara di sebelah kanan dan kirinya ada segerombolan bayang-bayang hitam. Jika melihat ke sebelah kanan beliau tertawa dan jika melihat sebelah kiri beliau menangis. Kemudian dia menyambutku dengan mengatakan:
“Selamat datang nabi yang sholeh, anakku yang shaleh”.
Kata Jibril, itu adalah Adam. Gerombolan hitam di sebelah kanannya adalah anak keturunannya ahli surga, dan sebelah kiri adalah keturunannya ahli neraka.
Kemudian kami naik ke langit ke-2, lalu Jibril berkata, “bukalah pintu langit”. Penjaganya menanyakan seperti yang ditanyakan oleh penjaga langit pertama –lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa beliau bertemu dengan Nabi ‘Isa dan Yahya di langit kedua. Mereka menyambut dengan mengatakan:
مرحبا بالأخ الصالح والنبي الصالح
“Selamat datang saudaraku yang shaleh, nabi yang sholeh.”
Nabi Yusuf di langit ke-3, Nabi Idris di langit ke-4, Nabi Harun di langit ke-5, Nabi Musa di langit ke-6 dan Nabi Ibrahim di langit ke-7. Beliau bersabda, ”Maka saya bertemu dengan Ibrahim dan dia sedang bersandar ke Baitul Ma’mur, satu bangunan yang dimasuki oleh 70.000 malaikat setiap harinya, dan jika mereka telah keluar, tidak akan kembali lagi.
Lalu dia (Jibril) membawaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata daun-daunnya seperti telinga-telinga gajah dan buahnya seperti tempayan besar. Tatkala dia diliputi oleh perintah Allah, diapun berubah sehingga tidak ada seorangpun dari makhluk Allah yang sanggup mengambarkan keindahannya. Juga diperlihatkan kepadaku empat sungai, dua sungai di dalam dan dua sungai di luar, maka saya berkata, “Apa kedua sungai ini, wahai Jibril?”. Dia menjawab, “Adapun dua sungai yang di dalam, maka itu adalah 2 sungai dalam surga. Adapun yang di luar maka dia adalah Nil dan Furoth”.
Kemudian Jibril – alaihis salam – datang kepadaku dengan membawa sebuah bejana yang berisi khamar dan bejana yang berisi susu, lalu sayapun memilih susu. Maka Jibril berkata, “Engkau telah memilih fitrah”. Kemudian kami terus ke atas sampai saya tiba pada jenjang dimana saya bisa mendengar goresan pena. Lalu Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan. Allah mewajibkan atasku 50 sholat sehari semalam.
Kemudian saya turun kepada Musa – alaihis salam –. Lalu dia bertanya, “Apa yang diwajibkan Tuhanmu atas umatmu?”. Saya menjawab, “50 sholat”. Dia berkata, “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena sesungguhnya umatmu tidak akan mampu mengerjakannya. Sesungguhnya saya telah menguji Bani Isra`il”.
Sayapun kembali kepada Tuhanku seraya berkata, “Wahai Tuhanku, ringankanlah atas umatku”. Maka dikurangi dariku 5 sholat. Kemudian saya kembali kepada Musa dan berkata, “Allah mengurangi untukku 5 sholat”. Dia berkata, “Sesungguhnya umatmu tidak akan mampu mengerjakannya, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”. Hingga terus menerus saya bolak-balik antara Tuhanku – Tabaraka wa Ta’ala – dan Musa. Sampai pada akhirnya, Allah berfirman,
يا محمد هن خمس صلوات في كل يوم وليلة بكل صلاة عشر فتلك خمسون صلاة
“Wahai Muhammad, ini adalah 5 sholat sehari semalam, setiap sholat (pahalanya) 10, maka semuanya 50 sholat.
Barangsiapa yang berniat melakukan kebaikan, namun dia tidak melakukannya maka dicatat untuknya satu pahala, dan jika dia kerjakan maka dicatat untuknya 10 kali kebaikan. Barangsiapa yang berniat kejelekan lalu dia tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis (dosa baginya) sedikitpun. Dan jika dia mengerjakannya, maka ditulis untuknya satu kejelekan”.
Kemudian saya turun sampai saya bertemu dengan Musa -’alaihis salam- seraya aku ceritakan hal ini kepadanya. Dia berkata, “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”, maka sayapun berkata, “Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai sayapun malu kepada-Nya”. Kemudian saya dimasukkan ke dalam surga, ternyata di dalamnya ada gunung-gunung dari permata dan debunya adalah Misk.”
Allahu a’lam, Semoga bermanfaat.
Sumber: www.konsultasisyariah.com
Posted by Arriqo Arfaq

PENENTUN AWAL PUASA


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Telah menjadi agenda tahunan bangsa indonesia, polemik penentuan awal bulan ramadhan atau awal bulan syawal. Hampir tidak kita jumpai, kaum muslimin melakukan puasa atau hari raya secara serempak. Terlebih pemerintah negara kita sangat permisif terhadap berbagai perbedaan yang berkembang di tanah air. Selagi di sana tidak ada aduhan, semua orang bebas menyebarkan gagasannya.
Kehadiran berbagai macam kelompok thariqat, yang memiliki metode penentuan tanggal sendiri-sendiri, membuat situasi semakin runyam. Selama pemerintah mengakomodasi setiap metode yang mereka tetapkan, selamanya kaum muslimin indonesia tidak akan pernah berpuasa dan berhari raya secara serempak. Cita-cita untuk menyatukan kalender umat islam, sejatinya hanya pepesan kosong yang tidak akan pernah terwujud.

Antara Ormas Islam dan Pemerintah

Setidaknya ada dua ormas besar yang menentukan aktivitas masyarakat dalam beribadah di bulan ramadhan dan syawal. Ketika dua ormas ini memberikan keputusan yang seragam, setidaknya kita bisa berharap, mayoritas kaum muslimin akan berpuasa dan berhari raya dalam waktu yang bersamaan. Namun sayangnya, dua ormas ini memiliki pendekatan yang sama sekali berbeda. Hisab dan rukyah. Lebih dari itu, dalam menentukan awal bulan dan agenda ibadah, masyarakat lebih cenderung menaruh kepercayaan kepada keputusan ormas, ketimbang kepada keputusan lembaga resmi pemerintah.
Sejatinya, pemerintah telah berupaya menjembatani dua pendekatan yang berbeda ini. Dalam hal ini, pemerintah kita menggunakan metode pendekatan Imkanur Rukyah.

Imkanur Rukyah

Kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah ini, ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah. Secara bahasa, Imkanur Rukyah berasal dari dua kata: imkan [arab: إمكان] yang artinya mengukur tingkat kemungkinan, dan ruyah [arab: رؤية] yang artinya melihat hilal. Gabungan dua kata ini dapat artikan sebagai bentuk mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal.
Jika kita perhatikan, secara praktis, Imkanur Rukyah dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyah dan metode hisab, yang mewakili metode dua ormas islam terbesar di indonesia.

Prinsip Imkanur Rukyah

Dalam kriteria imkan rukyah, hilal dianggap bisa terlihat, jika salah satu dari dua syarat berikut terpenuhi:
Pertama, Pada saat matahari terbenam, tinggi terkoreksi hilal di atas cakrawala lebih dari 2 derajat dan usia bulan lebih minimal 8 jam dihitung sejak ijtimak (peristiwa dimana bumi dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama).
Kedua, tinggi terkoreksi lebih dari 2 derajat dan elongasi (jarak lengkung Bulan-Matahari) lebih dari 3 derajat. (tinggi terkoreksi 2 derajat = tinggi hilal 2,25 derajat).
[sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat#Imkanur_Rukyat_MABIMS]
Hal menarik yang penting kita garis bawahi, untuk bisa menentukan keadaan di atas, metode imkanur rukyah yang dilakukan pemerintah akan menggunakan pendekatan hisab. Karena itu, klaim sebagian orang bahwa pemerintah anti hisab, pemerintah tidak mengadopsi hisab adalah komentar yang salah, karena metode imkanur rukyah sangat mengadopsi metode hisab.
Kemudian, dari dua syarat di atas, terdapat 3 kemungkinan keadaan yang bisa terjadi,
1. Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyah dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
2. Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyah kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyah dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
3. Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyah. Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala.
  • Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyah maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyah dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
  • Tetapi jika rukyah tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyah menggenapkan bulan menjadi 30 hari, sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyah dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.
Sebelum lebih lanjut terhadap pembahasan, saya tertarik untuk menggaris bawahi satu himbauan yang disampaikan dalam sidang Itsbat, penetapan tanggal 1 syawal 1432 H, pada akhir agustus 2011. Dalam majlis tersebut, salah satu peserta menghimbau agar seluruh ormas menyatukan kriteria yang digunakan dalam menentukan awal bulan. Karena selama kriteria ini tidak disatukan, akan rentan dengan munculnya perbedaan. Terutama ketika ketinggian hilal, kurang dari 2 derajat.
Penyatuan kriteria tidak sama dengan menganulir ijtihad ormas. Karena kriteria yang digunakan pemerintah sejatinya telah mewakili dua pendekatan yang dilakukan oleh dua ormas besar itu. Pemerintah tidak meninggalkan hisab sama sekali, juga tidak meninggalkan rukyah.
Sekali lagi, jika ada yang beranggapan bahwa pemerintah lebih memihak kepada pendekatan rukyah, ini jelas anggapan yang tidak benar. Demikian pula sebaliknya.

Semangat Menyatukan

Terlepas dari metode apapun yang ditetapkan pemerintah ataupun ormas dalam menentukan awal bulan, sejatinya ada satu pertanyaan yang bisa kita gunakan untuk mendekati kasus semacam ini, Siapakah yang paling berhak menentukan awal bulan dalam sebuah negara?
Seperti yang kita pahami bahwa sejatinya, penentuan tanggal puasa ramadhan atau kapan tanggal 1 syawal untuk berhari raya, kapan tanggal 10 Dzulhijah, statusnya sama dengan kegiatan wukuf di arafah. Karena semuanya adalah ibadah yang dilakukan berdasarkan kalender islam. Dalam sejarah kaum muslimin, anda mungkin belum pernah menjumpai para jamaah haji melakukan wukuf pada dua hari yang berbeda. Yang kita jumpai, mereka – jamaah haji – dari berbagai negara, wukuf pada hari yang sama.
Ini memberikan kesimpulan kepada kita bahwa kapan tanggal 1 ramadhan atau kapan tanggal 1 syawal untuk berhari raya, kapan tanggal 10 Dzulhijah, dan kapan seseorang melakukan wukuf di Arafah, semuanya adalah ibadah yang ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama. Atau lebih ringkasnya ibadah jama’i. Dan satu ibadah dinilai jama’i, ketika dilakukan serempak di semua tempat. Diantara dalil yang menunjukkan kesimpulan ini adalah,
Pertama, Allah menjadikan hilal sebagai acuan waktu ibadah bagi seluruh manusia
Allah berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Jawablah, hilal adalah mawaqit (acuan waktu) bagi manusia dan acuan ibadah haji.” (QS. Al-Baqarah: 189).
Karena itulah, hilal disebut hilal, sebab dia ustuhilla bainan-nas (terkenal di tengah masyarakat).
Syaikhul Islam mengatakan:
وَالْهِلَالُ اسْمٌ لَمَا اُسْتُهِلَّ بِهِ فَإِنَّ اللَّهَ جَعَلَ الْهِلَالَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَهَذَا إنَّمَا يَكُونُ إذَا اسْتَهَلَّ بِهِ النَّاسُ وَالشَّهْرُ بَيِّنٌ
“Hilal adalah nama (acuan waktu) ketika dia terkenal. Karena Allah jadikan hilal sebagai acuan waktu bagi seluruh umat manusia dan untuk acuan haji. Dan semacam ini hanya bisa terjadi ketika dia dikenal masyarakat dan sangat masyhur.” (Majmu’ Fatawa, 6:65)
Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan acuan waktu puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha, berdasarkan kesepakatan masyarakat.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa (tanggal 1 Ramadhan) adalah pada hari dimana kalian semua berpuasa. Hari fitri (tanggal 1 Syawal) adalah pada hari dimana kalian semua melakukan hari raya, dan hari Idul Adha adalah pada hari dimana kalian semua merayakan Idul Adha.” (HR. Turmudzi 697, Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2181, dan hadis ini dinilai shahih oleh Al-Albani)
Apa makna hadis?
Setelah menyebutkan hadis ini, At-Turmudzi mengatakan:
وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ هَذَا الحَدِيثَ، فَقَالَ: إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالفِطْرَ مَعَ الجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ
“Sebagian ulama menjelaskan hadis ini, dimana beliau mengatakan: “Makna hadis ini, bahwa puasa dan hari raya dilakukan bersama jamaah (kaum muslimin) dan seluruh masyarakat.” (Sunan At-Turmudzi, 3:71)
Untuk mendapatkan penjelasan ini lebih lengkap, anda bisa mempelajari:Berpuasa Bersama Pemerintah
Kita kembali pada pertanyaan di atas, Siapakah yang paling berhak menentukan awal bulan dalam sebuah negara? Karena ini terkait komando kaum muslimin dalam menentukan awal bulan.
Tentu saja anda tidak akan menjawab, ‘Masing-masing orang berhak menentukannya.’ Karena jawaban ini tidak sejalan dengan prinsip jamaah. Anda juga tidak boleh menjawab, ‘Ormas berhak menentukannya.’ Karena jika semacam ini dikembalikan ke salah satu ormas, tentu saja ormas yang lain tidak akan menerima.
Sehingga jawaban ini kembali kepada pihak yang berwenang. Dalam hal ini adalah keputusan sidang itsbat yang diadakan oleh kementrian agama. Betapa tidak, karena sejatinya keputusan inilah yang menampung berbagai saran dan masukan ormas, serta kriteria penetapan awal bulan yang dilakukan berbagai ormas. Sikap pemerintah dalam hal ini sudah sangat akomodatif, tidak memutuskan sendiri, namun diputuskan berdasarkan masukan dari berbagai pihak. Apabila masih ada kaum muslimin yang memilih keputusan berbeda dari kesepakatan semacam ini, berarti semangat dia untuk menyatukan umat, perlu dipertanyakan.

Sikap Rakyat Jika Terjadi Perbedaan 1 Ramadhan

Berdasarkan keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi masyarakat, selain mengikuti keputusan sidang itsbat. Karena forum ini paling berwenang untuk menentukan komando penentuan waktu ibadah jama’i.
Dan semacam inilah yang diajarkan para ulama masa silam. Bahkan mereka tegaskan masalah ini dalam buku-buku aqidah. Karena bersatu dalam ibadah jama’i dengan mengacu pada keputusan pemerintah, merupakan prinsip ahlus sunah, yang membedakan mereka dengan kelompok khawarij dan mu’tazilah.
Dalam kitab Al-Wajiz fi Aqidati Ahlis Sunah wal Jamaah, ditegaskan:
وأَهل السنة والجماعة :يرون الصلاة والجُمَع والأَعياد خلف الأُمراء والولاة ، والأَمر بالمعروف والنهي عن المنكر والجهاد والحج معهم أَبرارا كانوا أَو فجارا
Ahlus sunah wal jamaah memiliki prinsip: Shalat (di masjid negara pen.), jumatan, hari raya harus dilakukan di atas komando pemimpin. Amar ma’ruf nahi munkar, jihad, dan pelaksanaan manasik haji harus dilakukan bersama pemimpin. Baik dia pemimpin yang jujur maupun pemimpin yang fasik… (Al-Wajiz fi Aqidati Ahlis Sunah, Hal. 130)
Imam Ahmad mengatakan,
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasa harus bersama pemimpin dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan,
يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Pertolongan Allah bersama orang yang berpegang teguh dengan jama’ah”. (Majmu’ Al Fatawa, 25/117).
Ketika menjelaskan hadis tentang penentuan awal puasa yang benar, Imam Al Munawi menegaskan:
أي الصوم والفطر مع الجماعة وجمهور الناس
“Artinya berpuasa dan berbuka bersama jama’ah dan mayoritas manusia.” (At Taisir bisyarhi Al jami’ Ash Shaghir, 2/208)
Ketika menjelaskan hadis A’isyah yang menyebutkan penentuan awal puasa dan awal hari raya, Amir Ash Shan’ani dalam karya monumentalnya ‘Subulus Salam’ mengatakan dengan tegas:
فيه دليل على أنه يعتبر في ثبوت العيد الموافقة للناس وأن المنفرد بمعرفة يوم العيد بالرؤية يجب عليه موافقة غيره ويلزمه حكمهم في الصلاة والإفطار والأضحية
“Pada hadits ini ada dalil bahwa yang diambil ‘ibrah dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya dengan melihat hilal tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber’idul Fithri atau pun berkurban (Idul Adha). (Subulus Salam, 1/425)
Deikian pula yang ditegaskan Imam As-Sindi, ketika menjelaskan hadis Abu Hurairah di atas, dalam Hasyiah As-Sindi ‘Ala Sunan Ibni Majah:
وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ
“Jelasnya, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam menentukan awal bulan Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha, keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada pemimpin (imam) dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 3/431)
Allahu a’lam
Sumber: www.konsultasisyariah.com
Posted by Arriqo Arfaq
Tag : ,

BRENT Crude Oil

Gold Price

Popular Post

Blogger templates

Date

- Copyright © Young Geoscience -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -