Tampilkan postingan dengan label Geoscience. Tampilkan semua postingan
Ketahanan Air di Lereng Gunung Merapi
Indonesia memiliki potensi sumber daya air yang melimpah, menurut worldwater.org, Indonesia memiliki potensi ketersediaan sumber daya air terbesar keempat didunia setelah Brazil, Rusia, dan Kanada, yaitu mencapai 2838 miliar m3/tahun. Potensi tersebut bersumber dari sungai, danau, waduk, rawa, air tanah dangkal, air tanah dalam, dan mata air.
Salah satu sumber air yang penting diperhatikan adalah air tanah diwilayah gunungapi mengingat potensinya yang sangat tinggi. Menurut badan geologi kementrian energy dan sumber daya mineral, berdasarkan hasil survey cekungan air tanah tahun 2007, diketahui Indonesia mempunyai potensi sumberdaya air tanah mencapai 1700 miliar m3/tahun yang jumlah terbesarnya tersimpan dalam endapan volkanik atau gunungapi
Secara empiris, wilayah gunungapi muda mempunyai tingkat peresapan air yang tinggi berbeda dengan pegunungan yang tersusun oleh batuan tua, yaitu batuan berumur Tersier (Miosen-Pliosen) atau sebelum Kuarter (Plistosen-sekarang). Kekhasan wilayah gunungapi dengan struktur dan tekstur batuannya tidak hanya sebagai sumber potensi kebencanaan (Jika gunungapi meletus), namun juga berfungsi sebagai suatu tangka raksasa penyimpan air, baik dipermukaan maupun air dibawah permukaan.
Penelitian beberapa sistem resapan-luahan (recharge-discharge) daerah volkanik sudah dilakukan sejak 18 tahun terakhir. Daerah penelitiannya antara lain cekungan Bandung, Gunung Salak, Gunung Gede Pangrango, Gunung Sibayak, Gunung Batur, Gunung Merapi, dan gunung lainnya. Studi tersebut dimulai dengan analisis hidrogeologi yang meliputi survei topografi, analisis GIS (Geographic Information System), Penelususran daerah aliran sungai (DAS), dan identifikasi ukuran-ukuran jaringan air. Kemudian, dilakukan kajian wilayah gunungapi yang didukung oleh data geofisika untuk mengetahui gambaran bawah permukaan tanah secara akurat. Dan akhirnya dilakukan studi hidrokimia dan hidro-isotop air tanah.
Menurut Bogie dan Mackenzie, 1998. Gunungapi dibagi dalam 3 fasies utama yaitu fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distal. Fasies proksimal endapan gunungapi ditandai dengan batuan perselingan aliran lava dengan breksi piroklastik dan kadang tersingkap agglomerate. Di ujung fasies ini seringkali dijumpai mata air yang cukup besar debitnya dan mengairi sungai. Misalnya didaerah merapi adalah Umbul Wadon dan Umbul Lanang.
![]() |
Gambar 1. Tiga Fasies Utama Gunungapi (Bogie & Mackenzie, 1998)
Sumber ; http://www.volcosquad.com/2014/04/fasies-fulkanik-bogie-mackenzie-1998.html
|
Ke arah hilir biasanya ditemukan breksi piroklastik dan tuf sangat dominan, dan breksi lahar yang dikenal sebagai fasies medial. Pada fasies ini berkembang celah dan sistem rekahan yang cenderung ditandai banyaknya resapan air kearah batuan bawah.
Endapan gunungapi disekitar kaki gunug disebut sebagai fasies distal yang didominasi oleh breksi lahar, breksi fluiatil, konglomerat, batupasir, dan batulanau. Pemunculan mata air dengan debit yang besar sering dijumpai pada batuan yang terjadi patahan (sesar).
Patahan yg ada di Merapi tidak disebabkan oleh gerakan tektonik lempeng melainkan merupakan sebuah “block glide” yang sangat besar sehingga batuan yang bergerak terhadap yang lain membentuk bidang patahan.
Patahan yang memotong Gunung Merapi ini dapat dilihat dalam peta Google sebagai sebuah dinding yang salah satunya dikenal dengan nama Gunung Kukusan. Dinding di Kukusan ini yang membelokkan lajunya arah awan panas. Di lereng selatan Merapi dibagian fasies distal banyak sekali dijumpai mata air karena sangat umum dalam analisa patahan adalah menjumpai mata air, Misalnya didaerah Cangkringan, Ngemplak yang banyak sekali dijumpai mata air sehingga dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai tempat budidaya ikan, irigasi pertanian, dan tempat wisata air. Di kecamatan Ngemplak sendiri terdapat mata air Umbul Pajangan yang terletak di desa Wedomartani, Mata air Trita Budi di desa Medomartania dan mata air lainnya.
![]() |
Gambar 2. Patahan di Gunung Merapi
Sumber : https://rovicky.files.wordpress.com/2010/11/patahan_merapi.jpg
|
Di sebelah timur puncak merapi terdapat dinding terjal di lerengnya. Dinding ini yag diinterpretasikan sebagai patahan oleh Van Bammelen (1949). Kalau diteruskan patahan ini akan menunjukkan dimana terdapat mata air. Pada fasies distal di lereng timur Merapi banyak ditemui didaerah Klaten misalnya Umbul Ponggok, Cokro Tulung, Umbul Jalatunda, Umbul Kapilaler, dan banyak mata air lainnya. Bahkan ada salah satu perusahaan air minum yang memanfaatkan mata air di daerah Klaten tersebut.
Umbul Pajangan
Kali ini kita akan membahas salah satu mata air yang berada di desa Wedomartani kecamatan Ngemplak yaitu Umbul Pajangan. Jika kita telaah lebih lanjuta bahwa letak kecamatan Ngemplak termasuk di fasies distal gunung merapi sehingga banyak ditemukan mata air disana, ketersediaan air di kecamatan ngemplak sangat melimpah sehingga kecamatan ini sebagai pusat budidaya perikanan. Kegiatan budidaya perikanan tersebut sudah dilakukan secara turun temurupa dan secara swadaya yaitu tanpa ada campur tangan dari pemerintah terkait dengan hal perikanan, tetapi pada tahun 2010 pemerintah kabupaten menjadikan kecamatan Ngemplak sebagai kawasan minapolitan bersama dengan Kecamatan Berbah. Kecamatan Ngemplak sendiri ditetapkan menjadi kawasan Minapolitan khusus untuk perikanan Nila yang hingga saat ini telah berkontribusi meningkatkan volume produksi Nila.
Umbul Pajangan bentuknya tidak seperti kolam renang, tidak juga seperti umbul Ponggok yang sangat luas tetapi berupa bangunan tua yang berbentuk persegi dan tidak begitu luas, dari berbagai sumber mengatakan bahwa bangunan tua tersebut merupakan sisa dari proyek pengairan pemerintah di tahun 1987 yang dibatalkan karena tidak disetujui warga sekitar. Sehingga proses pembangunannya terbengkalai dan saat ini menjadi wisata alternatif warga setempat.
![]() |
Gambar 3. Umbul Pajangan Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Umbul Pajangan terletak di tengah sawah dengan menyajikan pemandangan merapi disebelah utara dengan udara yang masih sejuk dan suasana yang masih asri pedesaan menjadikan tempat ini memiliki nilai tambah tersendiri. Kolam di Umbul Pajangan kedalamannya sekitar 1,3-1,5 meter sehingga sangat cocok sekali untuk belajar berenang.
![]() |
Gambar 4. View Gunung Merapi disebelah Utara Umbul Pajangan Sumber : Dokumentasi Pribadi |
![]() |
Gambar 5. Umbul Pajangan yang Terletak di Tengah Persawahan Sumber : Dokumentasi Pribadi |
Mata air di Umbul Pajangan debitnya sangat besar sekali sehingga airnya setiap saat selalu berganti atau selalu jernih. Selain itu air yang ada di Umbul Pajangan ini tidak akan pernah habis walau saat musim kemarau. Debit air tersebut mencapai debit 65 liter per detik. Biasanya warga sekitar memanfaatkan air tersebut untuk mencuci pakaian, tikar, dan irigasi sawah-sawah. Di samping Umbul Pajangan juga terdapat warung yang menyediakan penyewaan ban dan berbagai macam makanan serta tempat ganti.
Referensi :
Rovicky. 2010. Patahan di Gunung Merapi. Internet. Available at : [https://rovicky.wordpress.com/2010/11/04/patahan-di-gunung-merapi/]
Hendrawan. 2015. Ketahanan Air Tanah Wilayah Gunungapi. Geomagz Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber daya Mineral Vol.5/No.3/September 2015
Rabu, 10 Februari 2016
Posted by Arriqo Arfaq
Menelaah Sistem Tektonik di Indonesia
Secara tektonik Indonesia terletak pada
pertemuan antara tiga lempeng utama, yaitu lempeng-lempeng Eurasia,
India-Australia, dan Pacific. Dari interaksi ketiga lempeng tersebut terbentuk
kepulauan Indonesia yang memiliki kondisi geologi yang sangat kompleks, seperti
adanya subduksi, busur vulkanik, cekungan samudra tua dan muda. Lempeng Eurasia
menunjam Indonesia di bagian utara,sedangkan lempeng indo-australia di bagian
selatan, dan lempeng pasifik di bagian timur laut. Akibat pergerakan
lempeng-lempeng tersebut di Indonesia terbentuk dua busur besar yaitu busur
sunda yang tersusun atas busur vulkanik aktif dan busur banda yang terbentuk
lebih komplek.
Gambar 1. Dinamika Tektonik di
Indonesia
Sumber : Hochstein&Sudarman, 2008
Sumber : Hochstein&Sudarman, 2008
A.
Busur Sunda
Busur Sunda terbentuk dari pertemuan
antara lempeng Indo-Australia yang menunjam lempeng Eurasia. Lempeng
Indo-Australia menunjam Indonesia dengan kecepatan 6-7 cm per tahunnya, letak
penunjaman tersebut di bawah Jawa dan Sumatra. Arah subduksi di Jawa hampir
tegak lurus dengan palung Jawa sebagai jalur subduksi, sehingga disebut
subduksi tegak (normal subduction). Di samping busur Sunda terdapat paparan Sunda
yang stabil, pulau Sumatra sudah ada sebelum proses subduksi sehingga disebut
busur kontinen bukan busur kepulauan, hal ini dibuktikan oleh Hamilton (1979), yang
menemukan batuan granit berumur 240 juta tahun atau pada zaman Trias. Sedangkan
proses subduksi dimulai pada zaman kretasius atau 100 juta tahun yang lalu. Kenampakan sistem subduksi, yaitu
outer rise, palung, punggungan busur luar, cekungan busur luar, punggungan
busur dalam, cekungan busur dalam berkembang dengan sangat jelas melintang
pulau Jawa dan Sumatra. Sedangkan untuk ciri-ciri tektonik
di busur Sumatra adalah bukit barisan, sesar Sumatra, cekungan minyak, ngarai,
dan pegunungan vulkanik. Busur Sunda dapat dibagi menjadi 2 yaitu Busur Sunda Barat dan Busur Sunda Timur.
Busur Sunda Barat
Busur Sunda
terbentuk dari pertemuan antara lempeng Indo-Australia yang menunjam lempeng
Eurasia. Lempeng Indo-Australia menunjam Indonesia dengan kecepatan 6-7 cm per
tahunnya, letak penunjaman tersebut di bawah Jawa dan Sumatera. Arah subduksi
di Jawa hampir tegak lurus dengan palung Jawa sebagai jalur subduksi, sehingga
disebut subduksi tegak (normal subduction). Sedangkan, Sumatera terpotong oleh
patahan-patahan (sesar) besar sejajar memanjang sumbu Pulau Sumatera yang
berarah Barat Laut – Tenggara. Kenampakan tektonik dan geologi di busur Sumatera
adalah adanya pegunungan vulkanik berupa bukit barisan, sesar Sumatera,
cekungan minyak, dan ngarai.
Adanya Subduksi
aktif dan patahan di Sumater menyebabkan munculnya Bukit Barisan sejajar sesar,
yang merupakan lapisan permukaan tanah yang terangkat. Sesar tersebut merupakan
sesar mendatar kanan (dextral) Sumatera yang membentuk pola rekahan sepanjang
sesar, sebagian respon terhadap gerak gesernya. Panjang sesar Sumatera tersebut
mencapai 1900 km.
Pada Sesar Sumatera juga terbagi menjadi beberapa segmen
diantaranya segmen selatan, segmen tengah, dan segmen utara. Dengan adanya
pembagian tersebut maka sangat membantu sekali bagi vulkanologis untuk
menentukan besarnya magnitude suatu gempa dengan mengetahui lebar dan panjang bagian tersebut.
Gambar 2. Pembagian Segmen pada Sesar Sumatera
Sumber : BARBER, A.J., CROW, M.J. &
MELSOM, J.S. (eds) 2005
Selain itu, di sumatra juga terdapat busur punggungan depan (Fore
Arc Ridge), ini merupakan produk subduksi tetapi tidak berkaitan dengan
magma melainkan berasal dari kumpulan material sedimen dari Burma dan teluk
Benggala kemudian diendapkan di tepi Sumetera, karena adanya subduksi sehingga
material tersebut membentuk prisma akresi (accreted sediment atau accretionary
wedge)
Busur Sunda Timur
Jawa memiliki penampang yang sama
seperti Sumatera, bahkan sabuk pegunungan magmatic merupakan kelanjutan dari
Sumatera. Berbeda dengan Sumatera, batuan vulkanik yang ada di jawa relatif muda,
lebih basa dengan basement berumur cretaceus atau awal tersier. Terdapat
singkapan batuan yang berumur pre-eosen di daerah Karangsambung dan Bayat
Kleten. Jika diamati maka batuan di Karangsambung bersifat lebih basa, dan
berumur lebih tua dari batuan yang tersingkap di Bayat, selain itu di
Karagsambung zona pengendapannya berada di laut dalam sementara di Bayat
merupakan zona laut dangkal. Di karangsambung merupakan zona Subduksi awal.
Kemudian dari sudut penunjaman
subduksi, di zona subduksi jawa memiliki sudut penunjaman yang lebih curam jika
dibandingkan dengan sudut penunjaman di Sumatra. Hal ini karena umur subduksi
di Jawa lebih tua dibandingkan dengan umur subduksi Sumatera. Hal ini terjadi
karena lempeng dengan komposisi yang sama tetapi memiliki umur yang lebih tua
maka lempeng tersebut akan memiliki densitas lebih besar sehingga akan
menghasilakan sudut penunjaman yang lebih curam.
Kedalaman
palung Jawa makin kecil kearah tenggara.
Kedalaman palung di Sumatera Utara hanya 4500 m, sementara di selatan Jawa
mencapai 6000-7000 m. Perbedaan kedalaman ini disebabkan oleh ketebalan
sedimentasinya (di Sumatra lebih tebal dari pada di Jawa).
Di Sumatra
sedimen berasal dari Burma dan teluk Benggala dengan kelajuan yang besar,
intercalated dengan turbudite. Di selatan Jawa hanya terendapkan sedimen
pelagic (laut dalam) yang tipis. Hampir semua sedimen terrigenous dari Jawa
terprangkap di cekungan busur depan. Palung Jawa di bagian timur juga semakin
dangkal karena pengaruh sedimentasi dari benua Australia.
Hipotesa Apungan Benua dan Pemekaran Samudra
Pada tahun 1912-1929 seorang ahli meteorologi dari Jerman mengemukakan
bahwa bentuk benua dapat dicocokan seperti puzzle, dimana benua dulunya bersatu
dalam sebuah superbenua disebut Pangea, kemudian Pangea pecah pada tahun 200
juta tahun yang lalu.
Pembuktian hipotesa apungan benua
Ada berbagai bukti yang mendukung hipotesa apungan benua
1.
Formasi
batuan
Ketika Pangea pecah menjadi bagian-bagian
yang besar maka terdapat kesamaan batuan di Greenland dan eropa
2.
Kesamaan
fosil tumbuhan dan hewan
Terdapat kesamaan fosil hewan dan
tumbahan dibenua Arfika dan Amerika selatan, padahal hewan tidak bisa
menyebrang dalam jarak yang jauh.
3.
Iklim
Terdapat lapisan batubara didaerah
Antartika menunjukkan bahwa dulunya merupakan daerah tropis, selain itu juga
terdapat glasial didaerah equator
Ada beberapa kelemahan dalam hipotesa Wegener, diantaranya dia
tidak bisa menjelaskan penyebab terjadinya pergerakan lempeng dan bagaimana
lempeng tersebut bergerak melalui dasar samudra. Sampai Wegener meninggal
hipotesanya belum bisa diterima oleh ilmuan pada waktu itu.
Pada tahun 1929, Arthur Holmes mendukung hipotesa Wegener, dimana
dia mengemukakan bahwa mantel bumi mengalami konveksi panas (thermal
convection), karena suatu material jika terkena panas akan berkurang
densitasnya sehingga akan muncul dipermukaan dan ketika dingin akan tenggelam
lagi. Hal tersebut berlangsung terus menerus seperti tangga berjalan.
Pada perang dunia II terjadi menimbulkan efek yang sangat besar
dalam ilmu kebumian yaitu dengan munculnya teknologi sonar dan magnetometer.
Sehingga, pada tahun 1940an-1950an dilakukan studi penelitian mengenai dasar
samudra menggunakan sonar dan magnetometer, dalam penelitian tersebut diketahui
bahwa dasar samudra tidak datar, ada daerah pegunungan ditengah samudra Atlantik.
Ada beberapa bukti mengenai pemekaran dasar samudra diantaranya
dari umur batuan dimana kerak benua mempunyai umur yang lebih tua dari kerak
samudra, batuan didaerah dekat punggung samudra mempunyai umur yang paling
muda. Selain itu, juga terdapat bukti lain yaitu kemagnetan batuan yang
mempunyai pola selang seling seperti zebra, dan bukti lainnya adalah sampel
batuan sumur bor di amerika selatan dan afrika mempunyai umur yang sama.
Setelah diketahui hipotesa apungan benua dan rekahan dasar samudra maka
muncullah teori tekonik lempeng.
![]() |
Gambar 1. Pergerakan Lempeng Benua Sumber : http://publish.illinois.edu/alfredwegener/ |