Kiat Menjadi Muslim yang Menyenangkan
Apa kabar
ikhwah fillah, saudara-saudara muslimku yang berbahagia? Alangkah bahagianya
menjadi seorang muslim yang mempunyai banyak saudara yang luar biasa. Muslim
dan muslimah adalah “agen” penebar rahmat. Sering berinteraksi dengan sesama
muslim maupun sahabat yang lainnya. Dalam interaksi ini tentunya kita harus
bisa memberikan keteduhan, kenyamanan,
dan kebaikan satu sama lain. Jangan sampai dalam interaksi ini justru
menimbulkan keeksklusifan dan rasa tidak nyaman. Seorang muslim harus mampu
merangkul sesamanya memberikan manfaat tanpa kesan menggurui.
عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس »
Diriwayatkan dari Jabir berkata, ”Rasulullah
salallahu’alaihi wassalam bersabda: Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak
ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia
adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan
Daruquthni)
Menjadi
muslim yang menyenangkan dan jauh dari
kata menyebalkan? Bukan hal sulit untuk dilakukan kawan. J
Sebelumnya
apa sih makna menyebalkan itu? Membuat orang lain jengkel, mangkel, tidak
nyaman dan merasa canggung terhadap kita. Mungkin itu sedikit definisi dari
menyebalkan.
Ada
pepatah mengatakan :
There are two ways of spreading light, to be
the candle or the mirror that reflects it.
Seperti Rasulullah salallahu’alaihi
wassalam, yang kebagusan
akhlaknya bukan saja dikagumi kawan tetapi juga lawan. Nah, setidaknya kita
juga bisa seperti itu. Dan semuanya bisa dimulai dari hal terkecil.
Pertama
nih, misalkan tentang penampilan. Menjadi muslim memang harus sederhana, tapi
sederhana itu ngga identik sama kucel, acak-acakan, dan sejenisnya. Cobalah
untuk 'matching' kalau pake baju.
antara atasan sama bawahan, kaos kaki hingga sepatu. Bagi akhwat sesuaikan pula
kerudungnya. Tapi tetap 'matching'
disini harus disesuaikan dengan konsep tabarruj dalam islam loh ya. Kedua,
tentang kebersihan. Jangan sampai kita kelihatan lecek dan tercium bau apek
dari tubuh kita, hehe :D
”Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah baik dan mencintai kebaikan, bersih dan mencintai kebersihan, mulia dan mencintai kemuliaan, dermawan dan mencintai kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman rumahmu dan janganlah kamu menyerupai orang Yahudi.” (HR. Tirmidzi)
Yang
ketiga masalah sikap. Sikap ini dibedakan menjadi dua. Dari perkataan dan
perbuatan. Karakter orang memang berbeda-beda. Ada yang pembawaannya jutek ada
yang selalu on dengan wajah
tersenyum. Jangan sampai orang lain ngga enak sama kita atau bahkan menjauhi
kita karena cara bicara kita yang sok tau, cengengesan yang kadang bisa membuat
orang ilfil (hilang “feeling”) terhadap kita. Cara bicara yang judes dan
terkesan memaksakan pendapat pun diharap untuk segera dijauhi. Tegas nggak
masalah, apalagi untuk segala hal yang berbau prinsip. Tapi ada cara yang lebih
“elegan” untuk berbagi ilmu dengan orang lain.
Kemudian
mengenai teman-teman. Banyaknya orang-orang menganggap kita eksklusif justru
karena kita tidak membuka ruang pertemanan dengan orang-orang banyak di sekitar
kita. Kita hanya berteman dan bergaul dengan orang-orang yang sepaham dengan
kita. Kita tidak peduli dengan orang-orang “di luar” dan lebih parahnya kita
seakan-akan memberikan kesan “inilah kami yang terbaik”. Jangan sampai kita
menjadi muslim yang menyebalkan seperti itu. Kita harus paham dengan
segala karakter dan kepribadian orang.
Dekati dan ajari mereka dengan cara yang bersahabat.
Nah,
begitulah saudaraku muslim dan muslimah yang luar biasa. Terkadang hal-hal
kecil yang kita anggap biasa justru menjadi sesuatu yang amat menyebalkan bagi
orang lain. Menjadi sempurna bukanlah tujuan kita, karena sejatinya tidak ada
manusia yang sempurna. Namun berusaha menjadi saudara yang menyenangkan bagi
orang lain adalah hal yang mulia. Terakhir, selalu tebarkan senyum, salam, dan
sapa untuk saudara-saudara kita. Karena senyuman kita, akan memberikan energi
positif bagi mereka, dan tentu untuk kita sendiri.
Dikutip dari tulisan mading MII FMIPA UGM
Muslim Baik Berdakwah dengan Baik
Sudah
menjadi rahasia umum untuk mahasiswa atau orang yang beragama Islam, bahwa
dakwah adalah kewajiban turun temurun dari zaman Rasulullah Shalallahu’alaihi
Wassalam hingga Islam terbagi-bagi seperti sekarang. Dalam dakwah, pastinya
kita akan menemukan sesuatu yang menghalangi kita dalam menyampaikan kebaikan
Islam. Entah audiens yang tidak mendukung, dibilang ‘sok alim’, atau bahkan
terlalu melanggar ini-itu dan terlalu
kaku dalam menyampaikan dakwah sehingga kita dapat dianggap tukang atur di
masyarakat. Anggapan inilah yang membuat kita menjadi dikucilkan dalam
kehidupan bersosial, apalagi dengan teman-teman kita. Label “muslim
menyebalkan” akan selalu tertera dalam kehidupan kalian atau setidaknya hingga
kalian berpindah ke lingkungan yang baru.
Tentu
kita tidak mau terjebak dalam retorika ini. Di sinilah kita memerlukan “seni”
dalam berdakwah. Bagaimana caranya yang kita sampaikan kepada khalayak ramai
adalah sesuatu yang dapat diterima oleh mereka. Banyak sekali cara-caranya
untuk dapat menyampaikan dakwa yang mengena di hati masyarakat. Cara-cara itu
adalah tahap untuk kita menyampaikan dakwah. Karena dakwah Rasulullah
Shalallahu’alaihi Wassalam pun didesain oleh Allah SWT sebagai dakwah yang
bertahap penyampaiannya dan tidak tergesa-gesa.
Jiwa manusia itu biasanya cenderung kepada hal-hal yang menyimpang
dan berbuat ma’siat, sehingga apabila kita memperbaiki jiwa itu secara frontal,
maka sama saja dengan membenturkan diri dengannya. Karena itu, selayaknya
seorang da’i wajib bersikap lembut, melakukan pedekatan serta terapi secara
bertahap dan mengenal pintu-pintu masuk untuk memasuki jiwa tersebut.
Aisyah Ummul Mukminin berkata, “Pertama
kali yang diturunkan dari Al-qur’an adalah surat-surat pendek yang didalamnya
sering disebut surga dan neraka. Sampai ketika manusia sudah banyak yang
memeluk islam, turunlah penjelasan halal dan haram. Seandainya yang pertama
kali turun adalah “Janganlah kamu minum khamr” niscaya mereka akan berkata,
“Kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya.” Atau seandainya yang turun
pertama adalah,”Janganlah kamu berzina” niscaya mereka akan berkata,”Kami tidak
akan meninggalkan zina selamanya.” (HR Bukhari). Dengan
demikian, dalam melakukan suatu proses mengubah jiwa manusia haruslah dengan
sedikit demi sedikit, mempersiapkannya untuk menerima suasana yang baru. Terhalang
oleh budaya sekitar lingkungan itu hal yang menyulitkan memang, untuk itulah
penyampaian dilakukan secara bertahap. Jangan terburu-buru dalam menyampaikan
sesuatu, salah-salah hanya akan menimbulkan perpecahan, dan kita akan dicap
sebagai “muslim menyebalkan”. Wallahu’alam. (zak)
Referensi: http://conangaul.wordpress.com/2014/01/15/bertahap-dalam-pembebanan-at-tadaruj-fii-takaliif/
Quote Ukhuwah (2)
“Dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu,
dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Siapa yang menyelesaikan
kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah
akan memudahkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan
orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan
akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah akan tutupkan aibnya
di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hambanya selama hambanya menolong
saudaranya. Siapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, akan Allah
mudahkan baginya jalan ke syurga. Sebuah kaum yang berkumpul di salah satu
rumah Allah membaca kitab-kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka,
niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka
rahmat, dan mereka dikelilingi malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada
makhluk disisi-Nya. Dan siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak akan
dipercepat oleh nasabnya.” (HR. Muslim)
“Tidaklah beriman salah seorang diantaramu
sehingga ia mencintai bagi saudaranya sesuatu yang ia mencintai bagi dirinya sendiri.” (
HR.Bukhari dan Muslim )
“Orang
mukmin dengan mukmin yang lain adalah seperti bangunan, dimana sebagian dari bangunan itu menguatkan yang
lain.” ( HR.Muslim )
“Mencela
seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran.” (HR Muslim)
“Hargailah
perasaan orang lain, meskipun mungkin sepele bagi anda, tapi bagi mereka itu
bisa sangat bernilai.” (Mario Teguh)
“Belajarlah dari semut rangrang yang
saling menopang untuk menyeberangi jurang. Begitulah ukhuwah mengajarkan kita
karena kita adalah saudara.” (Anonim)
Akhlak dalam Pergaulan
1.Mengetahui kalau dalam Islam haram
membuat orang lain kesal
Dari Abu
Hurairah radliyallahu anhu berkata, pernah ditanyakan kepada Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya si Fulanah suka
sholat malam, shoum di siang hari, mengerjakan (berbagai kebaikan) dan
bersedekah, hanyasaja ia suka mengganggu para tetangganya dengan lisannya?”.
Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tiada kebaikan padanya, dia
termasuk penghuni neraka”. Mereka bertanya lagi, “Sesungguhnya si Fulanah (yang
lain) mengerjakan (hanya) sholat wajib dan bersedekah dengan sepotong keju,
namun tidak pernah mengganggu seorangpun?”. Bersabda Rosulullah saw, “Dia
termasuk penghuni surga”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrod: 119,
Ahmad: II/ 440, al-Hakim: 7384 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
shahih, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad: 88 dan
Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 190].
Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 190].
2.Menepati
segala janji dan ucapan kepada orang lain
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji
itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)
"(yaitu) orang-orang yang memenuhi
janji Allah dan tidak merusak perjanjian." (QS Ar-Ra’du: 20)
‘(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang
menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa.’ (QS. Ali Imran: 76)
“(Akan tetapi) jika mereka meminta
pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan
pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan
mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Anfal: 72)
Dari Abdullah bin Amr
radhiallahu’anhuma, dia berkata, Rasulullah sallallahu’alahi wa sallam
bersabda: “Empat (prilaku) kalau seseorang ada padanya, maka dia termasuk
benar-benar orang munafik. Kalau berbicara berdusta, jika berjanji tidak
menepati, jika bersumpah khianat, jika bertikai, melampau batas. Barangsiapa
yang terdapat salah satu dari sifat tersebut, maka dia memiliki sifat
kemunafikan sampai dia meninggalkannya."
(HR. Bukhari, 3178 dan Muslim, 58)
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu
berkata, Rasulullah sallallahu’alahi wa sallam bersabda,"Barangsiapa yang
tidak menepati janji seorang muslim, maka dia mendapat laknat Allah, malaikat,
dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya taubat dan tebusan." (HR.
Bukhari, 1870 dan Muslim, 1370)
Dari
Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa salam
bersabda,"Sungguh, Allah akan tancapkan bendera bagi orang yang berkhianat
di hari kiamat. Lalu dikatakan: ‘Ketahuilah ini adalah pengkhianatan di
fulan." (HR. Bukhari, no. 6178, dan Muslim, no. 1735)
3.Membuat gembira orang lain
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah
yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai
oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari
orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku
berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai
daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.” (HR.
Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al Jaami’
no. 176).
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang biasa membantu hajat saudaranya, maka
Allah akan senantiasa menolongnya dalam hajatnya.” (HR. Bukhari no. 6951 dan
Muslim no. 2580).
4.
Memiliki akhlak mulia yang mendorong untuk berbuat baik kepada sesama
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar
berbudi pekerti yang agung." (QS. Al Qalam: 4)
"Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu." (QS. Ali Imran: 159)
"Dan tidaklah sama kebaikan dan
kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba
orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi
teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar." (QSl
Fushshilat: 34-35)
"Perumpamaan orang-orang yang
beriman dalam hal kasih sayang, kecintaan dan kelemah-lembutan diantara mereka
adalah bagaikan satu tubuh, apabila ada satu anggotanya yang sakit maka seluruh
tubuh juga merasakan sakit dan tidak bisa tidur." (HR.Muttafaqun ‘Alaihi)
Ummu Salamah, isteri Nabi Saw bertanya,
"Ya Rasulullah, seorang wanita dari kami ada yang kawin dua, tiga dan
empat kali lalu dia wafat dan masuk surga bersama suami-suaminya juga. Siapakah
kelak yang akan menjadi suaminya di surga?" Nabi Saw menjawab, "Dia
disuruh memilih dan yang dia pilih adalah yang paling baik akhlaknya dengan
berkata, "Ya Robbku, orang ini ketika dalam negeri dunia paling baik
akhlaknya terhadapku. Kawinkanlah aku dengan dia. Wahai Ummu Salamah, akhlak yang
baik membawa kebaikan untuk kehidupan dunia dan akhirat." (HR.
Ath-Thabrani)
Cinta Ali dan Fatimah
Sungguh beruntung bila
diantara kita ada yang bisa mengikuti jejak cinta dari seorang Ali bin Abi
Thalib RA dan istrinya Fathimah Az-Zahra RA. Karena keduanya adalah sosok yang
memiliki cinta sejati yang mumpuni. Saling mengisi dan percaya dalam mengarungi
bahtera kehidupan. Saling menenguhkan keimanan masing-masing kepada Allah SWT.
Dan untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti kisah singkat tentang cinta sejati
mereka:
Ada rahasia terdalam di
hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah, karib kecilnya,
puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada
suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang
dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia
bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya
dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang
Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu
bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang
semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam
diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi
mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Ali tak tahu apakah
rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari
mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling
akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam
dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya
tak diragukan; Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku
rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding
Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena
ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada
Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan
perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk
menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana
Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah
yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf,
Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan
kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak
budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal,
Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. Dan siapa budak yang dibebaskan
’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa
membahagiakan Fathimah.
Ali hanya pemuda miskin
dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku
mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas
cintaku” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau
mempersilahkan. Ia adalah keberanian atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu,
ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakar ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk
mempersiapkan diri. Namun, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar
mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan
perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani
tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut
dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
Umar ibn Al-Khaththab.
Ya, Al-Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar
Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan
Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan
kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan
dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum
muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi
berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakar
dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan ’Umar.”
Betapa tinggi
kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan
bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang
Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak
menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan
di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit
pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf
tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini
putera Al-Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda,
anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar
di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum
siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulullah! Tidak. ’Umar jauh
lebih layak. Dan ’Ali pun ridha.
Cinta tak pernah
meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau
mempersilakan. Yang ini pengorbanan.Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa
kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang
telah menikahi Ruqayyah binti Rasulullah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah,
saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah
itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya
’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin
mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d
ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn
’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau
yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang
ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ” ”Aku?”, tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai
saudaraku!” ”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?” ”Kami di
belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang
Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi
Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada
dirinya. Hanya ada satu set baju besi disana ditambah persediaan tepung kasar
untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu
memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu
sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati
wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab
atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda
yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab,
”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia
pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa
dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun
bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak, itu
resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang
tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa
pelabuhan. Ah, itu menyakitkan. ”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana
lamaranmu? ”Entahlah…” “Apa maksudmu?” “Menurut kalian apakah ’”Ahlan wa
Sahlan” berarti sebuah jawaban!” ”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf
kawan. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja
sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan!
Dua-duanya berarti ya !” Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan
baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya
tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian
untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, ’Umar, dan Fathimah. Dengan
keberanian untuk menikah. Sekarang, bukan janji-janji dan nanti-nanti.
Ali adalah gentleman
sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan!
Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan
cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah
meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil
kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang
juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa
suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku,
karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang
pemuda ” ‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah
denganku? dan siapakah pemuda itu?” Sambil tersenyum Fathimah pun berkata; “Ya,
karena pemuda itu adalah dirimu”
Kemudian Nabi SAW
bersabda: “ Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan
Fathimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah
sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah
(dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut”
Kemudian Rasulullah
SAW. mendoakan keduanya: “Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua,
membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan
mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak”
Asal-Usul Bulan Rajab
Asal Penamaan Bulan Rajab
Dinamakan
bulan Rajab, dari kata Rajjaba – yurajjibu ..yang artinya mengagungkan. Bulan
ini dinamakan Rajab karena bulan ini diagungkan masyarakat Arab. (keterangan Al
Ashma’i, dikutip dari Lathaiful Ma’arif, Hal. 210).
Keutamaan Bulan Rajab
Bulan
Rajab termasuk salah satu empat bulan haram
Allah
berfirman,
¨bÎ) no£Ïã Íqåk¶9$# yZÏã «!$# $oYøO$# u|³tã #\öky Îû É=»tFÅ2 «!$# tPöqt t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ßöF{$#ur !$pk÷]ÏB îpyèt/ör& ×Pããm 4 Ï9ºs ßûïÏe$!$# ãNÍhs)ø9$#
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus…” (QS. At Taubah: 36)
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya zaman berputar
sebagaimana kondisinya, ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun
ada dua belas bulan, diantaranya empat bulan haram. Tiga bulan ber-turut-turut:
Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan: Rajab suku Mudhar, yaitu
bulan antara Jumadi (tsaniyah) dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Keterangan:
disebut “Rajab suku Mudhar” karena suku Mudhar adalah suku yang paling menjaga
kehormatan bulan Rajab, dibandingkan suku-suku yang lain.
Dengan
keutamaan Bulan Rajab seperti yang dijelaskan diatas, apakah ada amalan khusus pada bulan tersebut?
Tidak
terdapat amalan khusus terkait bulan Rajab. Baik bentuknya shalat,
puasa, zakat, maupun umrah. Mayoritas ulama menjelaskan bahwa hadis yang
menyebutkan amalan bulan Rajab adalah hadis bathil dan tertolak.
Ibnu
Hajar mengatakan,
لم يرد
في فضل شهر رجب ، ولا في صيامه ، ولا في صيام شيء منه معين ، ولا في قيام ليلة
مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة ، وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل
الهروي الحافظ
“Tidak
terdapat riwayat yang shahih, bisa untuk dijadikan dalil tentang keutamaan
bulan Rajab, baik bentuknya puasa sebulan penuh atau puasa di tanggal tertentu
bulan Rajab atau shalat tahajjud di malam tertentu. Keterangan saya ini telah
didahului oleh ketengan Imam Al-Hafidz Abu Ismail Al Harawi.” (Tabyinul Ujub
bimaa Warada fii Fadli Rajab, Hal. 6)
Imam
Ibn Rajab mengatakan,
أما الصلاة فلم يصح في
شهر رجب صلاة مخصوصة تختص به و الأحاديث المروية في فضل صلاة الرغائب في أول ليلة
جمعة من شهر رجب كذب و باطل لا تصح و هذه الصلاة بدعة عند جمهور العلماء
“Tidak
terdapat dalil yang shahih, yang menyebutkan adanya anjuran shalat tertentu di
bulan Rajab. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat raghaib di malam
Jumat pertama bulan Rajab adalah hadis dusta, bathil, dan tidak shahih. Shalat
Raghaib adalah bid’ah menurut mayoritas ulama.” (Lathaiful Ma’arif, Hal.
213)
Terkait
masalah puasa di bulan Rajab, Imam Ibnu Rajab juga menegaskan,
tidak ada satu pun hadis shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus. Hanya terdapat riwayat dari Abu
Qilabah, bahwa beliau mengatakan,
في الجنة قصر لصوام رجب
“Di
surga terdapat istana untuk orang yang rajin berpuasa di bulan Rajab.”
Namun
riwayat bukan hadis. Imam Al Baihaqi mengomentari keterangan Abu Qilabah:
أبو قلابة من كبار
التابعين لا يقول مثله إلا عن بلاغ
“Abu
Qilabah termasuk tabi’in senior, beliau tidak menyampaikan riwayat itu kecuali
karena kabar tanpa sanad.” (Lathaiful Ma’arif, Hal. 213)
Pertama, Puasa sunah bulan haram
Akan tetapi, jika seseorang melaksanakan puasa di bulan Rajab dengan niat puasa sunah di bulan-bulan haram, maka ini dibolehkan bahkan dianjurkan. Mengingat sebuah hadis yanng diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, Al Baihaqi dan yang lainnya, bahwa suatu ketika datang seseorang dari suku Al Bahili menghadap Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta diajari berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Puasalah sehari tiap bulan.” Orang ini mengatakan: Saya masih kuat, tambahkanlah!. “Dua hari setiap bulan”. Orang ini mengatakan: Saya masih kuat, tambahkanlah!. “Tiga hari setiap bulan.” orang ini tetap meminta untuk ditambahi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Akan tetapi, jika seseorang melaksanakan puasa di bulan Rajab dengan niat puasa sunah di bulan-bulan haram, maka ini dibolehkan bahkan dianjurkan. Mengingat sebuah hadis yanng diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, Al Baihaqi dan yang lainnya, bahwa suatu ketika datang seseorang dari suku Al Bahili menghadap Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta diajari berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Puasalah sehari tiap bulan.” Orang ini mengatakan: Saya masih kuat, tambahkanlah!. “Dua hari setiap bulan”. Orang ini mengatakan: Saya masih kuat, tambahkanlah!. “Tiga hari setiap bulan.” orang ini tetap meminta untuk ditambahi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فمن الحرم و أفطر
“Puasalah
di bulan haram dan berbukalah (setelah selesai bulan haram).” (Hadis ini
dishahihkan sebagaian ulama dan didhaifkan ulama lainnya). Namun diriwayatkan
bahwa beberapa ulama salaf berpuasa di semua bulan haram. Dinataranya: Ibn Umar,
Hasan Al Bashri, dan Abu Ishaq As Subai’i.
Kedua, Mengkhususkan Umrah di bulan Rajab
Diriwayatkan bahwa Ibn Umar pernah mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan umrah di bulan Rajab. Kemudian ucapan beliau ini diingkari Aisyah.
Diriwayatkan bahwa Ibn Umar pernah mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan umrah di bulan Rajab. Kemudian ucapan beliau ini diingkari Aisyah.
يغفر الله لأبي عبد
الرحمن، لعمري، ما اعتمر في رجب
“Semoga
Allah mengampuni Abu Abdirrahmah (Ibnu Umar). Sepanjang usiaku, beliau belum
pernah Umrah di bulan Rajab.”
Ibnu Umar mendengar hal ini dan beliau diam saja. (HR. Muslim, 1255)
Ibnu Umar mendengar hal ini dan beliau diam saja. (HR. Muslim, 1255)
Umar
bin Khatab dan beberapa sahabat lainnya menganjurkan umrah bulan Rajab. Aisyah
dan Ibnu Umar juga melaksanakan umrah bulan Rajab.
Ibnu
Sirin menyatakan, bahwa para sahabat melakukan hal itu. Karena rangkaian haji
dan umrah yang paling bagus adalah melaksanakan haji dalam satu perjalanan
sendiri dan melaksanakan umrah dalam satu perjalanan yang lain, selain di bulan
haji. (Al Bida’ Al Hauliyah, Hal. 119).
Dari
penjelasan Ibnu Rajab menunjukkan bahwa melakukan umrah di bulan Rajabhukumnya
dianjurkan. Beliau berdalil dengan anjuran Umar bin Khatab untuk melakukan
umrah di bulan Rajab. Dan dipraktikkan oleh Aisyah dan Ibnu Umar.
Diriwayatkan
Al Baihaqi, dari Sa’id bin Al Musayib, bahwa Aisyah radliallahu ‘anhamelakukan
umrah di akhir bulan Dzulhijjah, berangkat dari Juhfah, beliau berumrah bulan
Rajab berangkat dari Madinah, dan beliau memulai Madinah, namun beliau mulai
mengikrarkan ihramnya dari Dzul Hulaifah. (HR. Al Baihaqi dengan sanad hasan)
Namun
ada sebagian ulama yang menganggap umrah di bulan Rajab tidak dianjurkan.
Karena tidak ada dalil khusus terkait umrah bulan Rajab. Ibnu Atthar
mengatakan, “Di antara berita yang sampai kepadaku dari penduduk Mekah,
banyaknya kunjungan di bulan Rajab. Kejadian ini termasuk masalah yang belum
kami ketahui dalilnya. Bahkan terdapat hadis yang shahih bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Umrah di bulan Ramadhan nilainya seperti
haji’.” (HR. Al Bukhari)
Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh mengatakan, bahwa para ulama mengingkari sikap
mengkhususkan bulan Rajab untuk memperbanyak melaksanakan umrah. (Majmu’
Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6:131)
Kesimpulan:
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, mengkhususkan umrah di bulan Rajab adalah perbuatan yang tidak ada landasannya dalam syariat. Karena tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan anjuran mengkhususkan bulan Rajab untuk pelaksanaan umrah. Disamping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan umrah di bulan Rajab, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya. Andaikan ada keutamaan mengkhususkan umrah di bulan Rajab, tentu Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi tahukan kepada umatnya. Sebagaimana beliau memberi tahu umatnya akan keutamaan umrah di bulan Ramadlan. Sedangkan riwayat dari Umar bahwa beliau menganjurkan umrah di bulan Rajab, yang benar sanadnya dipermasalahkan.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, mengkhususkan umrah di bulan Rajab adalah perbuatan yang tidak ada landasannya dalam syariat. Karena tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan anjuran mengkhususkan bulan Rajab untuk pelaksanaan umrah. Disamping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan umrah di bulan Rajab, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya. Andaikan ada keutamaan mengkhususkan umrah di bulan Rajab, tentu Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi tahukan kepada umatnya. Sebagaimana beliau memberi tahu umatnya akan keutamaan umrah di bulan Ramadlan. Sedangkan riwayat dari Umar bahwa beliau menganjurkan umrah di bulan Rajab, yang benar sanadnya dipermasalahkan.
Ketiga, Menyembelih hewan (Atirah)
Atirah adalah hewan yang disembelih di bulan Rajab untuk tujuan beribadah.
Atirah adalah hewan yang disembelih di bulan Rajab untuk tujuan beribadah.
Ulama
berselisih pendapat tentang hukum Atirah.
Pendapat
pertama, athirah dianjurkan. Dalilnya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin
Ash, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya
tentang Athirah, kemudian beliau menjawab:
الْعَتِيرَةُ حَقٌّ
“Athirah
itu hak.” (HR. Ahmad, An Nasa’i dan As Suyuthi dalam Jami’us Shaghir)
Pendapat
kedua, Atirah tidak disyariatkan, namun tidak makruh.
Dalilnya, hadis dari Abu Razin, Laqirh bin Amir Al Uqaili, beliau bertanya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami menyembelih hewan
di bulan Rajab di zaman Jahilliyah. Kami memakannya dan memberi makan tamu yang
datang.” Kemudian Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak masalah.” (HR. An Nasa’i, Ad Darimi, dan Ibn Hibban)
Pendapat
ketiga, Atirah hukumnya makruh. Berdasarkan hadis, bahwa Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ فَرَعَ وَلاَ
عَتِيرَةَ
“Tidak
ada Fara’a dan tidak ada Atirah.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Fara’a adalah anak pertama binatang, yang
disembelih untuk berhala.
Pendapat
keempat, Atirah hukumnya haram. Ini adalah pendapat yang
dipilih Ibnul Qoyim dan Ibnul Mundzir. Ibnul Qoyim mengatakan, “Dulu masyarakat
Arab melakukan Atirah di masa jahiliyah, kemudian mereka tetap
melakukannya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendukungnya.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya,
melalui sabdanya, “Tidak ada fara’a dan tidak ada Atirah.” akhirnya para
sahabat meninggalkannya, karena adanya larangan beliau. Dan telah dipahami
bersama, bahwa larangan itu hanya akan muncul, jika sebelumnya ada yang
melakukannya. Sementara tidak kita jumpai adanya satupun ulama yang mengatakan,
Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Atirah kemudian
beliau membolehkannya kembali…” (Tahdzib Sunan Abu Daud, 4:92 – 93).
Insya Allah, pendapat inilah yang lebih mendekati kebenaran.