- Back to Home »
- Agama , Akhlaq »
- Sikap Yang Islami Menghadapi Hari Ulang Tahun
Posted by : Arriqo Arfaq
Selasa, 14 Januari 2014
Ada hari yang dirasa spesial bagi kebanyakan orang. Hari
yang mengajak untuk melempar jauh ingatan ke belakang, ketika saat ia
dilahirkan ke muka bumi, atau ketika masih dalam buaian dan saat-saat masih
bermain dengan ceria menikmati masa kecil. Ketika hari itu datang, manusia pun
kembali mengangkat jemarinya, untuk menghitung kembali tahun-tahun yang telah
dilaluinya di dunia. Ya, hari itu disebut dengan hari ulang tahun.
Nah sekarang, pertanyaan yang hendak kita cari tahu
jawabannya adalah: bagaimana sikap yang Islami menghadapi hari ulang tahun?
Jika hari ulang tahun dihadapi dengan melakukan perayaan,
baik berupa acara pesta, atau makan besar, atau syukuran, dan semacamnya maka
kita bagi dalam dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, perayaan tersebut dimaksudkan dalam
rangka ibadah. Misalnya dimaksudkan sebagai ritualisasi rasa syukur, atau
misalnya dengan acara tertentu yang di dalam ada doa-doa atau bacaan
dzikir-dzikir tertentu. Atau juga dengan ritual seperti mandi kembang 7 rupa
ataupun mandi dengan air biasa namun dengan keyakinan hal tersebut sebagai
pembersih dosa-dosa yang telah lalu. Jika demikian maka perayaan ini masuk
dalam pembicaraan masalah bid’ah. Karena syukur, doa, dzikir, istighfar
(pembersihan dosa), adalah bentuk-bentuk ibadah dan ibadah tidak boleh
dibuat-buat sendiri bentuk ritualnya karena merupakan hak paten Allah dan
Rasul-Nya. Sehingga kemungkinan pertama ini merupakan bentuk yang dilarang
dalam agama, karena Rasul kita Shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Orang yang melakukan ritual amal ibadah yang bukan berasal
dari kami, maka amalnya tersebut tertolak” [HR. Bukhari-Muslim]
Perlu diketahui juga, bahwa orang yang membuat-buat ritual
ibadah baru, bukan hanya tertolak amalannya, namun ia juga mendapat dosa,
karena perbuatan tersebut dicela oleh Allah. Sebagaimana hadits,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ،
لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ
حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ
اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ
رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى
مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga).
Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan
mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku
lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman,
‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “ (HR.
Bukhari no. 7049)
Kemungkinan kedua, perayaan ulang tahun ini dimaksudkan
tidak dalam rangka ibadah, melainkan hanya tradisi, kebiasaan, adat atau
mungkin sekedar have fun. Bila demikian, sebelumnya perlu diketahui bahwa dalam
Islam, hari yang dirayakan secara berulang disebut Ied, misalnya Iedul Fitri,
Iedul Adha, juga hari Jumat merupakan hari Ied dalam Islam. Dan perlu diketahui
juga bahwa setiap kaum memiliki Ied masing-masing. Maka Islam pun memiliki Ied
sendiri. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
إن لكل قوم عيدا
وهذا عيدنا
“Setiap kaum memiliki Ied, dan hari ini (Iedul Fitri) adalah
Ied kita (kaum Muslimin)” [HR. Bukhari-Muslim]
Kemudian, Ied milik kaum muslimin telah ditetapkan oleh
Allah dan Rasul-Nya hanya ada 3 saja, yaitu Iedul Fitri, Iedul Adha, juga hari
Jumat. Nah, jika kita mengadakan hari perayaan tahunan yang tidak termasuk
dalam 3 macam tersebut, maka Ied milik kaum manakah yang kita rayakan tersebut?
Yang pasti bukan milik kaum muslimin.
Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda,
من تشبه بقوم فهو
منهم
“Orang yang meniru suatu kaum, ia seolah adalah bagian dari
kaum tersebut” [HR. Abu Dawud, disahihkan oleh Ibnu Hibban]
Maka orang yang merayakan Ied yang selain Ied milik kaum
Muslimin seolah ia bukan bagian dari kaum Muslimin. Namun hadits ini tentunya
bukan berarti orang yang berbuat demikian pasti keluar dari statusnya sebagai
Muslim, namun minimal mengurangi kadar keislaman pada dirinya. Karena seorang
Muslim yang sejati, tentu ia akan menjauhi hal tersebut. Bahkan Allah Ta’ala
menyebutkan ciri hamba Allah yang sejati (Ibaadurrahman) salah satunya,
والذين
لا يشهدون الزور وإذا
مروا باللغو مروا كراما
“Yaitu orang yang tidak ikut menyaksikan Az Zuur dan bila
melewatinya ia berjalan dengan wibawa” [QS. Al Furqan: 72]
Rabi’ bin Anas dan Mujahid menafsirkan Az Zuur pada ayat di
atas adalah perayaan milik kaum musyrikin. Sedangkan Ikrimah menafsirkan Az
Zuur dengan permainan-permainan yang dilakukan adakan di masa Jahiliyah.
Jika ada yang berkata “Ada masalah apa dengan perayaan kaum
musyrikin? Toh tidak berbahaya jika kita mengikutinya”. Jawabnya, seorang
muslim yang yakin bahwa hanya Allah lah sesembahan yang berhak disembah,
sepatutnya ia membenci setiap penyembahan kepada selain Allah dan penganutnya.
Salah satu yang wajib dibenci adalah kebiasaan dan tradisi mereka, ini tercakup
dalam ayat,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya” [QS. Al Mujadalah: 22]
Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
-rahimahllah- menjelaskan : “Panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah
baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya.
Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya.
Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk
amalannya.
Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do’a agar
dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan :
“Semoga Allah memanjangkan umurmu” kecuali dengan keterangan “Dalam
ketaatanNya” atau “Dalam kebaikan” atau kalimat yang serupa. Alasannya umur
panjang kadang kala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang
jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya-
hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka”
[Dinukil dari terjemah Fatawa Manarul Islam 1/43, di almanhaj.or.id]
Jika demikian, sikap yang Islami dalam menghadapi hari ulang
tahun adalah: tidak mengadakan perayaan khusus, biasa-biasa saja dan berwibawa
dalam menghindari perayaan semacam itu. Mensyukuri nikmat Allah berupa
kesehatan, kehidupan, usia yang panjang, sepatutnya dilakukan setiap saat bukan
setiap tahun. Dan tidak perlu dilakukan dengan ritual atau acara khusus, Allah
Maha Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi di dalam dada. Demikian juga
refleksi diri, mengoreksi apa yang kurang dan apa yang perlu ditingkatkan dari
diri kita selayaknya menjadi renungan harian setiap muslim, bukan renungan
tahunan.
Wallahu’alam.
Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/1584/slash/0 dan
http://www.saaid.net/Doat/alarbi/6.htm
Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id