- Back to Home »
- Agama , Fiqh »
- Asal-Usul Bulan Rajab
Posted by : Arriqo Arfaq
Selasa, 19 Agustus 2014
Asal Penamaan Bulan Rajab
Dinamakan
bulan Rajab, dari kata Rajjaba – yurajjibu ..yang artinya mengagungkan. Bulan
ini dinamakan Rajab karena bulan ini diagungkan masyarakat Arab. (keterangan Al
Ashma’i, dikutip dari Lathaiful Ma’arif, Hal. 210).
Keutamaan Bulan Rajab
Bulan
Rajab termasuk salah satu empat bulan haram
Allah
berfirman,
¨bÎ) no£Ïã Íqåk¶9$# yZÏã «!$# $oYøO$# u|³tã #\öky Îû É=»tFÅ2 «!$# tPöqt t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ßöF{$#ur !$pk÷]ÏB îpyèt/ör& ×Pããm 4 Ï9ºs ßûïÏe$!$# ãNÍhs)ø9$#
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus…” (QS. At Taubah: 36)
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya zaman berputar
sebagaimana kondisinya, ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun
ada dua belas bulan, diantaranya empat bulan haram. Tiga bulan ber-turut-turut:
Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan: Rajab suku Mudhar, yaitu
bulan antara Jumadi (tsaniyah) dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Keterangan:
disebut “Rajab suku Mudhar” karena suku Mudhar adalah suku yang paling menjaga
kehormatan bulan Rajab, dibandingkan suku-suku yang lain.
Dengan
keutamaan Bulan Rajab seperti yang dijelaskan diatas, apakah ada amalan khusus pada bulan tersebut?
Tidak
terdapat amalan khusus terkait bulan Rajab. Baik bentuknya shalat,
puasa, zakat, maupun umrah. Mayoritas ulama menjelaskan bahwa hadis yang
menyebutkan amalan bulan Rajab adalah hadis bathil dan tertolak.
Ibnu
Hajar mengatakan,
لم يرد
في فضل شهر رجب ، ولا في صيامه ، ولا في صيام شيء منه معين ، ولا في قيام ليلة
مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة ، وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل
الهروي الحافظ
“Tidak
terdapat riwayat yang shahih, bisa untuk dijadikan dalil tentang keutamaan
bulan Rajab, baik bentuknya puasa sebulan penuh atau puasa di tanggal tertentu
bulan Rajab atau shalat tahajjud di malam tertentu. Keterangan saya ini telah
didahului oleh ketengan Imam Al-Hafidz Abu Ismail Al Harawi.” (Tabyinul Ujub
bimaa Warada fii Fadli Rajab, Hal. 6)
Imam
Ibn Rajab mengatakan,
أما الصلاة فلم يصح في
شهر رجب صلاة مخصوصة تختص به و الأحاديث المروية في فضل صلاة الرغائب في أول ليلة
جمعة من شهر رجب كذب و باطل لا تصح و هذه الصلاة بدعة عند جمهور العلماء
“Tidak
terdapat dalil yang shahih, yang menyebutkan adanya anjuran shalat tertentu di
bulan Rajab. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat raghaib di malam
Jumat pertama bulan Rajab adalah hadis dusta, bathil, dan tidak shahih. Shalat
Raghaib adalah bid’ah menurut mayoritas ulama.” (Lathaiful Ma’arif, Hal.
213)
Terkait
masalah puasa di bulan Rajab, Imam Ibnu Rajab juga menegaskan,
tidak ada satu pun hadis shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus. Hanya terdapat riwayat dari Abu
Qilabah, bahwa beliau mengatakan,
في الجنة قصر لصوام رجب
“Di
surga terdapat istana untuk orang yang rajin berpuasa di bulan Rajab.”
Namun
riwayat bukan hadis. Imam Al Baihaqi mengomentari keterangan Abu Qilabah:
أبو قلابة من كبار
التابعين لا يقول مثله إلا عن بلاغ
“Abu
Qilabah termasuk tabi’in senior, beliau tidak menyampaikan riwayat itu kecuali
karena kabar tanpa sanad.” (Lathaiful Ma’arif, Hal. 213)
Pertama, Puasa sunah bulan haram
Akan tetapi, jika seseorang melaksanakan puasa di bulan Rajab dengan niat puasa sunah di bulan-bulan haram, maka ini dibolehkan bahkan dianjurkan. Mengingat sebuah hadis yanng diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, Al Baihaqi dan yang lainnya, bahwa suatu ketika datang seseorang dari suku Al Bahili menghadap Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta diajari berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Puasalah sehari tiap bulan.” Orang ini mengatakan: Saya masih kuat, tambahkanlah!. “Dua hari setiap bulan”. Orang ini mengatakan: Saya masih kuat, tambahkanlah!. “Tiga hari setiap bulan.” orang ini tetap meminta untuk ditambahi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Akan tetapi, jika seseorang melaksanakan puasa di bulan Rajab dengan niat puasa sunah di bulan-bulan haram, maka ini dibolehkan bahkan dianjurkan. Mengingat sebuah hadis yanng diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, Al Baihaqi dan yang lainnya, bahwa suatu ketika datang seseorang dari suku Al Bahili menghadap Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta diajari berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Puasalah sehari tiap bulan.” Orang ini mengatakan: Saya masih kuat, tambahkanlah!. “Dua hari setiap bulan”. Orang ini mengatakan: Saya masih kuat, tambahkanlah!. “Tiga hari setiap bulan.” orang ini tetap meminta untuk ditambahi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فمن الحرم و أفطر
“Puasalah
di bulan haram dan berbukalah (setelah selesai bulan haram).” (Hadis ini
dishahihkan sebagaian ulama dan didhaifkan ulama lainnya). Namun diriwayatkan
bahwa beberapa ulama salaf berpuasa di semua bulan haram. Dinataranya: Ibn Umar,
Hasan Al Bashri, dan Abu Ishaq As Subai’i.
Kedua, Mengkhususkan Umrah di bulan Rajab
Diriwayatkan bahwa Ibn Umar pernah mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan umrah di bulan Rajab. Kemudian ucapan beliau ini diingkari Aisyah.
Diriwayatkan bahwa Ibn Umar pernah mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan umrah di bulan Rajab. Kemudian ucapan beliau ini diingkari Aisyah.
يغفر الله لأبي عبد
الرحمن، لعمري، ما اعتمر في رجب
“Semoga
Allah mengampuni Abu Abdirrahmah (Ibnu Umar). Sepanjang usiaku, beliau belum
pernah Umrah di bulan Rajab.”
Ibnu Umar mendengar hal ini dan beliau diam saja. (HR. Muslim, 1255)
Ibnu Umar mendengar hal ini dan beliau diam saja. (HR. Muslim, 1255)
Umar
bin Khatab dan beberapa sahabat lainnya menganjurkan umrah bulan Rajab. Aisyah
dan Ibnu Umar juga melaksanakan umrah bulan Rajab.
Ibnu
Sirin menyatakan, bahwa para sahabat melakukan hal itu. Karena rangkaian haji
dan umrah yang paling bagus adalah melaksanakan haji dalam satu perjalanan
sendiri dan melaksanakan umrah dalam satu perjalanan yang lain, selain di bulan
haji. (Al Bida’ Al Hauliyah, Hal. 119).
Dari
penjelasan Ibnu Rajab menunjukkan bahwa melakukan umrah di bulan Rajabhukumnya
dianjurkan. Beliau berdalil dengan anjuran Umar bin Khatab untuk melakukan
umrah di bulan Rajab. Dan dipraktikkan oleh Aisyah dan Ibnu Umar.
Diriwayatkan
Al Baihaqi, dari Sa’id bin Al Musayib, bahwa Aisyah radliallahu ‘anhamelakukan
umrah di akhir bulan Dzulhijjah, berangkat dari Juhfah, beliau berumrah bulan
Rajab berangkat dari Madinah, dan beliau memulai Madinah, namun beliau mulai
mengikrarkan ihramnya dari Dzul Hulaifah. (HR. Al Baihaqi dengan sanad hasan)
Namun
ada sebagian ulama yang menganggap umrah di bulan Rajab tidak dianjurkan.
Karena tidak ada dalil khusus terkait umrah bulan Rajab. Ibnu Atthar
mengatakan, “Di antara berita yang sampai kepadaku dari penduduk Mekah,
banyaknya kunjungan di bulan Rajab. Kejadian ini termasuk masalah yang belum
kami ketahui dalilnya. Bahkan terdapat hadis yang shahih bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Umrah di bulan Ramadhan nilainya seperti
haji’.” (HR. Al Bukhari)
Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh mengatakan, bahwa para ulama mengingkari sikap
mengkhususkan bulan Rajab untuk memperbanyak melaksanakan umrah. (Majmu’
Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6:131)
Kesimpulan:
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, mengkhususkan umrah di bulan Rajab adalah perbuatan yang tidak ada landasannya dalam syariat. Karena tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan anjuran mengkhususkan bulan Rajab untuk pelaksanaan umrah. Disamping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan umrah di bulan Rajab, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya. Andaikan ada keutamaan mengkhususkan umrah di bulan Rajab, tentu Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi tahukan kepada umatnya. Sebagaimana beliau memberi tahu umatnya akan keutamaan umrah di bulan Ramadlan. Sedangkan riwayat dari Umar bahwa beliau menganjurkan umrah di bulan Rajab, yang benar sanadnya dipermasalahkan.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, mengkhususkan umrah di bulan Rajab adalah perbuatan yang tidak ada landasannya dalam syariat. Karena tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan anjuran mengkhususkan bulan Rajab untuk pelaksanaan umrah. Disamping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan umrah di bulan Rajab, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya. Andaikan ada keutamaan mengkhususkan umrah di bulan Rajab, tentu Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi tahukan kepada umatnya. Sebagaimana beliau memberi tahu umatnya akan keutamaan umrah di bulan Ramadlan. Sedangkan riwayat dari Umar bahwa beliau menganjurkan umrah di bulan Rajab, yang benar sanadnya dipermasalahkan.
Ketiga, Menyembelih hewan (Atirah)
Atirah adalah hewan yang disembelih di bulan Rajab untuk tujuan beribadah.
Atirah adalah hewan yang disembelih di bulan Rajab untuk tujuan beribadah.
Ulama
berselisih pendapat tentang hukum Atirah.
Pendapat
pertama, athirah dianjurkan. Dalilnya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin
Ash, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya
tentang Athirah, kemudian beliau menjawab:
الْعَتِيرَةُ حَقٌّ
“Athirah
itu hak.” (HR. Ahmad, An Nasa’i dan As Suyuthi dalam Jami’us Shaghir)
Pendapat
kedua, Atirah tidak disyariatkan, namun tidak makruh.
Dalilnya, hadis dari Abu Razin, Laqirh bin Amir Al Uqaili, beliau bertanya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami menyembelih hewan
di bulan Rajab di zaman Jahilliyah. Kami memakannya dan memberi makan tamu yang
datang.” Kemudian Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak masalah.” (HR. An Nasa’i, Ad Darimi, dan Ibn Hibban)
Pendapat
ketiga, Atirah hukumnya makruh. Berdasarkan hadis, bahwa Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ فَرَعَ وَلاَ
عَتِيرَةَ
“Tidak
ada Fara’a dan tidak ada Atirah.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Fara’a adalah anak pertama binatang, yang
disembelih untuk berhala.
Pendapat
keempat, Atirah hukumnya haram. Ini adalah pendapat yang
dipilih Ibnul Qoyim dan Ibnul Mundzir. Ibnul Qoyim mengatakan, “Dulu masyarakat
Arab melakukan Atirah di masa jahiliyah, kemudian mereka tetap
melakukannya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendukungnya.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya,
melalui sabdanya, “Tidak ada fara’a dan tidak ada Atirah.” akhirnya para
sahabat meninggalkannya, karena adanya larangan beliau. Dan telah dipahami
bersama, bahwa larangan itu hanya akan muncul, jika sebelumnya ada yang
melakukannya. Sementara tidak kita jumpai adanya satupun ulama yang mengatakan,
Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Atirah kemudian
beliau membolehkannya kembali…” (Tahdzib Sunan Abu Daud, 4:92 – 93).
Insya Allah, pendapat inilah yang lebih mendekati kebenaran.