- Back to Home »
- Geofisika , Geologi , Geoscience »
- Sumber Energi Fosil (3) Cost Recovery dan UU MIGAS
Posted by : Arriqo Arfaq
Senin, 18 Agustus 2014
DANA
COST RECOVERY
Dana Cost
Recovery atau ada yang menyebut Investment Recovery adalah istilah yang
menjelaskan tentang biaya yang harus diganti oleh pemerintah terhadap seluruh
biaya produksi yang dikeluarkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS),
biaya itu meliputi biaya eksplorasi, biaya pemboran, gaji karyawan, dan
lain-lain.
Setiap
tahun nilai cost recovery yang dibayarkan oleh pemerintah mengalami
peningkatan, hal tersebut yang memberatkan keuangan pemerintah karena didalam
kenyataan produksi minyak dan gas bumi terus mengalami penurunan dari tahun ke
tahun. Pada awal 2012 rata-rata lifting atau produksi minyak bumi hanya
mencapai 906 ribu BPH, yang dibawah harapan pemerintah yaitu 950 ribu BPH. Di
Indonesia dana cost recovery terbesar adalah Chevron dan disusul kemudian
Pertamina EP. Pada tahun 2012 pemerintah melalui SKK migas mengharapkan produksi
untuk Chevron sebanyak 357 ribu BPH. Sedangkan untuk Pertamina EP,SKK migas
memasang target produksi sebesar 135 ribu BPH.
Pada tahun
2012 kebutuhan dana cost recovery diperkirakan mencapai 13,34 miliar dollar AS
lebih tinggi dari tahun 2011 sebesar 12.3 miliar dollar AS yang terdiri dari
8,68 miliar AS investasi dalam sektor minyak dan investasi di sektor gas
sebesar 4,66 miliar dollar AS. Tujuan menaikkan dana cost recovery adalah untuk
meningkatkan produksi, misalnya akan diterapkannya teknologi Enhanced Oil
Recovery (EOR).
UNDANG-UNDANG
MIGAS
Sebelum
diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, eksplorasi
dan produksi minyak dan gas bumi di Indonesia berdasarkan Kontrak Bagi Hasil
(PSC – Production Sharing Contract) sesuai UU No. 8 Tahun 1971 tentang
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Dalam undang-undang
tersebut Pertamina ditunjuk oleh pemerintah untuk mewakili melakukan kontrak
dengan pengusaha minyak dan gas bumi, yang pada umumnya merupakan perusahaan
asing, dan melakukan kontrol kegiatan operasional semua perusahaan migas.
Dari tahun
2001 hingga tahun 2012 ini, yang berlaku adalah UU No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi yang menggantikan UU No. 8 Tahun 1971. Didalam UU No. 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, merubah Kontrak Bagi Hasil (PSC)
menjadi Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS). Undang-undang tersebut sekaligus
mengalihkan pengelolaan kontrak dengan perusahaan pertambangan dari Pertamina
kepada SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Minyak dan
Gas Bumi), dan mendudukkan Pertamina sama dengan KKKS yang lain. Dan
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2002, SKK MIGAS ditetapkan menjadi
aparat pemerintah.
ADA APA
DENGAN UU No. 22 Tahun 2001
Dalam UU
Migas No. 22 Tahun 2001 (pasal pasal 28 ayat 2) ada ketentuan agar harga migas
Indonesia diserahkan pada mekanisme persaingan usaha atau mekanisme pasar.
Tetapi, pasal ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun
2004. Namun, pada
tahun 2005, gagasan liberalisasi itu dimunculkan
lagi melalui Perpres No. 55 Tahun 2005 yang menyerahkan harga BBM pada “harga
keekonomian pasar”.
UU nomor
22 tahun 2001 tentang Migas telah membuka peluang kepada korporasi asing untuk
menguasai sektor hulu dan hilir minyak dan gas bumi Indonesia. Di sektor hulu,
hampir 80-90% ladang minyak Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing. Apalagi
didalam undang-undang, pengelolaan blok oleh Kontrak Kontraktor Kerjasama (KKKS)
setelah masa kontraknya habis masih dapat diperpanjang. Seharusnya setelah masa
kontraknya habis maka pengelolaan blok harus dikembalikan kepada negara dan
tidak boleh diperpanjang lagi. Oleh karena itu, UU No. 22 Tahun 2001 sangat
merugikan negara dan seharusnya mengembalikan tata-kelola Migas sesuai dengan
ketentuan Konstitusi pada Pasal 33 UUD 1945.
Prinsip
pengelolaan Energi menurut Pasal 33 UUD 1945 :
1.
Sumber-sumber energi, termasuk minyak dan gas bumi, harus dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
2.
Proses eksplorasi minyak dan gas bumi seharusnya dijalankan oleh negara melalui
perusahaan minyak negara. Oleh karena itu, negara harus melakukan riset untuk
mencari sumber-sumber minyak, melatih tenaga-tenaga ahli Indonesia untuk
menguasai eksplorasi migas, dan menciptakan/mendatangkan teknologi yang
diperlukan untuk eksplorasi minyak.
3.
Pemanfaatan energi harus memprioritaskan kepentingan nasional yaitu untuk
industrialiasasi nasional dan menopang ekonomi rakyat.
4.
Keuntungan dari sektor minyak dan gas bumi seharusnya dipergunakan untuk
membiayai pembangunan dan program-program sosial untuk rakyat (pendidikan,
kesehatan, perumahan, sembako, dan lain-lain).
5.
Keterlibatan perusahaan asing dalam eksplorasi migas nasional tidak boleh
melucuti kedaulatan bangsa dan kedaulatan energi, tidak merugikan penerimaan
negara, tidak membayar murah pekerja Indonesia, mau melakukan alih-teknologi,
tidak merampas tanah rakyat, dan tidak merusak lingkungan.
Produksi
produksi minyak mentah siap jual (lifting) nasional terus menurun sejak era
pemerintahan SBY. Pada tahun 2004, sebelum SBY jadi Presiden, produksi minyak
mentah siap jual (lifting) nasional masih berkisar 1,4 juta BPH. Namun, pada
akhir tahun 2011 produksi minyak Indonesia hanya 905.000 BPH. Dan pada awal
tahun 2012 produksi minyak hanya sekitar 890.000 BPH.
Kontrak-kontrak
migas Indonesia banyak yang merugikan pemerintah. Misalnya di sektor gas,
Indonesia dirugikan oleh kontrak penjualan LNG ke sejumlah negara. Salah satu
contoh harga jual LNG Tangguh di Papua yang dioperasikan oleh British Petroleum
hanya 3,35 dollar AS per MMBTU, mengapa tidak diserahkan Pertamina sebagai
operator. Pertamina mengoperasikan Blok Badak dan menjual 6 dollar AS per
MMBTU. Sedangkan harga normal di pasar dunia bisa mencapai 18 dollar AS per
MMBTU. Sehingga dari lapangan Tangguh di Papua, Indonesia kehilangan sekitar Rp
30 Triliun per tahun.
Indonesia dibebani pembayaran cost recovery yang tidak transparan. Sampai saat ini, besaran cost recovery per tahun masih mencapai di atas Rp 100 triliun. Sebagian besar biaya cost recovery ini adalah mark-up. Besarnya pembayaran cost-recovery ini menyebabkan mengecilnya penerimaan negara dari sektor migas.
Refferensi : Materi Kuliah Energi
Artikel terkait : Sumber Energi Fosil 2,
Indonesia dibebani pembayaran cost recovery yang tidak transparan. Sampai saat ini, besaran cost recovery per tahun masih mencapai di atas Rp 100 triliun. Sebagian besar biaya cost recovery ini adalah mark-up. Besarnya pembayaran cost-recovery ini menyebabkan mengecilnya penerimaan negara dari sektor migas.
Refferensi : Materi Kuliah Energi
Artikel terkait : Sumber Energi Fosil 2,