- Back to Home »
- Agama , Akhlaq »
- Cinta Ali dan Fatimah
Posted by : Arriqo Arfaq
Selasa, 19 Agustus 2014
Sungguh beruntung bila
diantara kita ada yang bisa mengikuti jejak cinta dari seorang Ali bin Abi
Thalib RA dan istrinya Fathimah Az-Zahra RA. Karena keduanya adalah sosok yang
memiliki cinta sejati yang mumpuni. Saling mengisi dan percaya dalam mengarungi
bahtera kehidupan. Saling menenguhkan keimanan masing-masing kepada Allah SWT.
Dan untuk lebih jelasnya, mari kita ikuti kisah singkat tentang cinta sejati
mereka:
Ada rahasia terdalam di
hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah, karib kecilnya,
puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada
suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang
dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia
bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya
dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang
Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu
bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang
semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam
diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi
mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Ali tak tahu apakah
rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari
mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling
akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam
dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya
tak diragukan; Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku
rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding
Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena
ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada
Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan
perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk
menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana
Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah
yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf,
Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan
kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak
budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal,
Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. Dan siapa budak yang dibebaskan
’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa
membahagiakan Fathimah.
Ali hanya pemuda miskin
dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku
mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas
cintaku” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau
mempersilahkan. Ia adalah keberanian atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu,
ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakar ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk
mempersiapkan diri. Namun, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar
mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan
perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani
tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut
dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
Umar ibn Al-Khaththab.
Ya, Al-Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar
Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan
Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan
kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan
dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum
muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi
berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakar
dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan ’Umar.”
Betapa tinggi
kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan
bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang
Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak
menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan
di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit
pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf
tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini
putera Al-Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda,
anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar
di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum
siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulullah! Tidak. ’Umar jauh
lebih layak. Dan ’Ali pun ridha.
Cinta tak pernah
meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau
mempersilakan. Yang ini pengorbanan.Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa
kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang
telah menikahi Ruqayyah binti Rasulullah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah,
saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah
itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya
’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin
mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d
ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn
’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau
yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang
ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ” ”Aku?”, tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai
saudaraku!” ”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?” ”Kami di
belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang
Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi
Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada
dirinya. Hanya ada satu set baju besi disana ditambah persediaan tepung kasar
untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu
memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu
sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati
wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab
atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda
yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab,
”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia
pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa
dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun
bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak, itu
resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang
tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa
pelabuhan. Ah, itu menyakitkan. ”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana
lamaranmu? ”Entahlah…” “Apa maksudmu?” “Menurut kalian apakah ’”Ahlan wa
Sahlan” berarti sebuah jawaban!” ”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf
kawan. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja
sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan!
Dua-duanya berarti ya !” Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan
baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya
tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian
untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, ’Umar, dan Fathimah. Dengan
keberanian untuk menikah. Sekarang, bukan janji-janji dan nanti-nanti.
Ali adalah gentleman
sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan!
Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan
cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah
meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil
kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang
juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa
suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku,
karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang
pemuda ” ‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah
denganku? dan siapakah pemuda itu?” Sambil tersenyum Fathimah pun berkata; “Ya,
karena pemuda itu adalah dirimu”
Kemudian Nabi SAW
bersabda: “ Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan
Fathimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah
sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah
(dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut”
Kemudian Rasulullah
SAW. mendoakan keduanya: “Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua,
membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan
mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak”