- Back to Home »
- Geofisika , Geologi , Geoscience »
- Kupas Tuntas Lapindo Brantas (2)
Posted by : Arriqo Arfaq
Jumat, 22 Agustus 2014
Penyebab
Semburan Lumpur Sumber 1 (Blog Geolog)
Pada artikelnya, Davies
(2007) langsung mengkategorikan fenomena ini sebagai gunung lumpur (Mud
Vulcano), Gunung lumpur yang terdapat di Jawa bagian timur pada umumnya
terbentuk pada cekungan yang terisi oleh endapan batuan sedimen laut yang cukup
tebal, mengandung minyak dan gas bumi. Kemunculan lumpur dalam proses
pembentukan gunung di wilayah ini, pada umumnya diakibatkan oleh adanya
struktur geologi, seperti lipatan dan sesar serta energi yang mendorongnya sehingga
lumpur tersebut dapat mencapai permukaan. Gas bumi bertekanan tinggi yang
berada di puncak antiklin dan adanya sesar sebagai zona lemah merupakan faktor
penyebab migrasinya fluida atau gas ke permukaan.
Gambar 5. Transisi Gunung Lumpur (Mud Vulcano)
Pada kasus Lapindo
semburan gunung Lumpur (Mud Vulcano) dipicu oleh aktivitas pengeboran yang
menggunakan tekanan besar pada lapisan limestone. Gunung lumpur bukanlah
kejadian baru di Jawa Timur, setidaknya ada dua gunung lumpur aktif: di
Sangiran, Purwodadi (Davies, 2007; Mazzini 2007) dan Kalang Anyar (Davies ,
2008). Mazzini (2007) memandang hipotesa Davies (2007), tentang semburan yang
dipicu oleh aktivitas pengeboran, sebagai inconclusive. Kemudian, Mazzini
mengangkat hipotesa semburan dipicu gempa bumi. Bantahan Mazzini itu dibantah
kembali oleh Davies (2008) dengan menghadirkan kronologis pengeboran di sumur
Banjar Panji -1.
Dalam kronologis itu
dapat diketahui bahwa setelah mata bor mencapai kedalaman 1.091 meter Lapindo
melanjutkan pengeboran tanpa menggunakan selubung pelindung ( casing) apapun. Pada
27 Mei, selang 10 menit setelah gempa
mengguncang Yogyakarta -Jawa tengah pukul 06:02 WIB terjadi loss, masuknya
lumpur ke dalam lubang pengeboran. Lapindo meneruskan pengeboran selama 6 jam
sampai mencapai kedalaman 2.834 meter. Lapindo memutuskan untuk menghentikan
pengeboran dan menarik mata bor ke permukaan tanah.
Ketika bor sudah keluar
semua, lumpur mulai mengalir dari lubang. Lapindo berusaha menutup lubang
dengan semen dan berhasil. Lumpur tidak lagi keluar dari lubang pengeboran itu.
Esok harinya, 28 Mei, terjadi kick, cairan yang mengaliri seluruh lubang bor
menendang lapisan tanah di seputar lubang pengeboran yang ternyata tidak cukup
kuat menahan tekanan dari cairan itu. Akibatnya, lapisan tanah di sekeliling
lubang pengeboran retak, dan cairan itu keluar dari retakan-retakan itu.
Kejadian ini disebut sebagai blow out. Davies et al. (2008) menolak argumentasi
gempa bumi sebagai penyebab semburan karena “ there were other earthquakes,
which were larger, closer and generated stroner shaking, did not intitate an eruption
(635).” Singkatnya, kondisi geologis di Sidoarjo dan sekitarnya potensial untuk
terjadinya gunung lumpur mengingat ada beberapa gunung lumpur aktif saat ini,
yang dibutuhkan adalah pemicunya.
Gambar 6. Semburan Lumpu Lapindo Menenggelamkan Perumahan Warga
Penyebab Semburan Lumpur Sumber 2 (Wikipedia)
Pada awalnya sumur
tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai
formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor
(casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk
mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan
kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran
menembus formasi Kujung.
Sesuai dengan desain
awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki,
casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan
casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni
2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke
9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan
dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi
Kujung (8500 kaki).
Diperkirakan bahwa
Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis
(rancangan) pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan
mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya
adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada
formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah
menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada.
Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih
berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi
Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat di atasi dengan pompa
lumpurnya Lapindo (Medici).
Setelah kedalaman 9297
kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi
Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu
gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang
digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu
gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo
kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
Gambar 7. Peta Gunung Lumpur di Jawa Timur
Akibat dari habisnya
lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar
(terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong.
Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out
Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran
berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang
terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai
ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8
inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil
& kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa
sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas
melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi
bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu
melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface blowout
terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.
Gambar 8. Blowout di Sekitar Sumur
Dalam AAPG 2008
International Conference & Exhibition dilaksanakan di Cape Town International
Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008, merupakan
kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum
Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan
pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung GEMPA YOGYA sebagai
penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan PEMBORAN sebagai penyebab,
13 (tiga belas) suara ahli menyatakan KOMBINASI Gempa dan Pemboran sebagai
penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini.
Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan
kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pemboran.
Dari paparan diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa kemungkinan terbesar penyebab semburan lumpur
Sidoarjo (Lusi) adalah akibat pengeboran, karena kelelaian dalam proses
pengeboran yaitu tidak memasang casing sehingga terjadi blow out (keluarnya
semburan lumpur dari titik pengeboran), ditambah lagi hasil konferensi AAPG
2008, yang sebagian besar ahli geologi berpendapat bahwa semburan lumpur
lapindo disebabkan dari kesalahan pengeboran yang tidak sesuai SOP, selain itu
dari hasil investigasi Departemen Energi dan BP Migas (Sekarang SKK Migas)
tanggal 16 Juni 2006 menyetakan bahwa semburan lumpur panas tersebut akibat
kesalahan pengeboran bukan akibat gempa Yogyakarta yang terjadi 2 hari sebelum
semburan lumpur.
Video 1. Animasi Penutup (Casing) Sumur pada Pengeboran Minyak dan Gas
Dampak
Lumpur Lapindo
Semburan awal di tengah
sawah mencapai ketinggian 40 -50 meter dari permukaan tanah. Setiap harinya,
sekitar 7.000 – 150.000 meter kubik lumpur panas bersuhu 90 derajat celcius
meluber ke permu kaan bumi. Untuk tujuan tidak mengakibatkan kepanikan
masyarakat, terjadilah negosiasi internal perusahaan yang memutuskan untuk
mempublikasikan angka 25.000 meter kubik per hari kepada media (Kompas
3/06/2006). Masih menurut Kompas (19/06/2006), dalam waktu 21 hari saja lumpur sudah
menutup sekitar 90 hektar kawasan persawahan, tambak dan perumahan. Dalam waktu
satu bulan, luberan lumpur menutupi lebih kurang 200 hektar lahan (Kompas
17/07/2007). Sementara itu, Normile (2006) mencatat bahwa sampai Septembe r
2006, lumpur telah meluberi 240 hektar lahan; membanjiri desa -desa,
pabrik-pabrik, tambak udang dan sawah. Tiap hari semakin banyak bangunan
(pabrik, sekolah, masjid, toko dan kantor pemerintahan) harus ditinggalkan
karena banyaknya volume lumpur yang terus keluar dari perut bumi. Sepuluh
pabrik terpaksa menghentikan aktivitasnya (Kompas 19/6/2006), akibatnya lebih
dari 1.873 buruh kehilangan pekerjaannya (Santoso, 2007). Ratusan hektar sawah
menjadi tidak produktif, bukan hanya karena terendam lumpur tapi juga menutup
saluran irigasi bagi sawah yang tak terendam lumpur. Lumpur juga menyerang
tambak -tambak. Dalam observasi peneliti di muara Sungai Porong, sedimentasi
lumpur telah membentuk sebuah pulau kecil. Pada keadaan pasang di malam hari,
“pulau” kecil itu menghalangi air pasang dari Selat Madura sehingga air laut
masuk ke tambak -tambak yang dekat dengan bibir pantai. Akibatnya, ikan-ikan
berenang ke laut dan hilang (Wawancara Irysad, petani tambak).
Gambar 9. Citra Satelit Lapindo
Dalam wawancaranya di ANTV (05/04/2009), Bakrie
mengatakan bahwa Lapindo hanyalah perusahaan kecil dibandingkan seluruh unit
usahanya, tapi telah menyebabkan masalah besar baginya karena Lapindo harus
membayar lebih dari 3,8 trilliun rupiah (sekitar 421 juta US Dollar).
Laporan BPK RI (2007)
menyebutkan sampai Februari 2007 sudah 470 hektar area (229,7 hektar
diantaranya sawah padi dan 64,015 hektar adalah sawah tebu) yang terendam lumpur,
sementara itu 499,84 hektar lahan terkena dampak rembesan lumpur. Pemerintah
dan Lapindo sudah berusaha membangun kolam penampungan lumpur seluas 251,9
hektar (laporan BPK RI, 2007). Masih menurut laporan BPK RI, jumlah pengungsi
per 19 Januari 2007 mencapai 14.768 jiwa yang tergabung dalam 4.125 KK.
Berdasarkan tanggal pantauan, berarti jumlah itu baru pengungsi dari empat desa
yang masuk dalam Peraturan Presiden 14/2007 (Jatirejo, Kedungbendo, Renokenongo
dan Siring), dan belum termasuk pengungsi baru dari tiga desa tambahan (Besuki,
Pejarakan dan Kedung Cangkring) menurut Perpres 48/2008).
Gambar 10. Semburan Lumpur yang Sampai Sekarang Masih Aktif
Gambar 11. Akibat Penurunan Permukaan Tanah Sehingga Banyak Bangunan yang Rusak
Artikel Terkait : Kupas tuntas Lapindo Brantas (1)